Samaniata 'Asyaro ١٨

5K 308 6
                                    

08.37

Agha

Hari ini ternyata aku malah harus mengantar Ashira ke rumah sakit. Aku prihatin dengan keadaannya, kasihan kalau penyakitnya malah tambah parah lagi.

Sebenarnya kankernya sudah bertambah parah, cukup parah, ia bukan lagi seorang militer yang dulunya bekerja di kantor. Ia juga harus bertumpu pada kursi roda.

Aku menggendongnya masuk ke mobil lalu kursi rodanya aku letakkan di bagasi mobil.

"Om, pamit dulu ya" aku mencium punggung tangan ayah Ashira.

"Iya hati-hati. Om nitip Ashira ya".

"Iya"

Aku mengambil alih kemudi dan menuju rumah sakit.
Dalam perjalanan aku hanya melihat Ashira terpaku dengan diary-nya. Aku sempat meliriknya sedikit demi sedikit apa yang tengah ia tulis.

Bersamanya adalah anugerah
Anugerah yang terindah
Tidak dapat kulepaskan
Andai alunan harapan hidup mengiringiku
Aku ingin terus bersamanya
Tapi, apa rasa ini hanya milikku?
Bagaimana dengannya?
Aku ingin merasakan hidup yang indah denganmu
Agha.

Aku terbelalak, di akhir kalimat tercantum namaku. Kenapa ia menulis A-G-H-A? Padahal aku sudah menuliskan nama 'Arshiya' di lubuk hati ini. Bukan orang yang tengah berjuang hidup disebelahku ini.

Tapi, entahlah. Apa ini saatnya menjalani yang pasti, yang sudah pasti mengharapkanku. Bukannya orang yang hilang bertahun-tahun dan muncul dengan pamor tingginya di televisi. Apa mungkin bukan Arshiya? Melainkan Ashira?

Pertanyaan yang sama yang selalu hadir di cakrawala hidupku.

Arshiya

"Kak Dai berangkat bareng!!!" Sahutku dari lantai atas.

"Cepetan!! 10 detik ga keluar gue rajam!" Balas kak Daisam yang sudah menggas mogenya sedari tadi berkali-kali.

Aku segera berlari terburu-buru dan membawa perlangkapan dokterku yang belum sempat kumasukkan di tas.

Kak Haidar sudah berangkat bertugas lagi dan pulang sebulan lagi bila memungkinkan. Semoga ia bisa pulang lebih cepat, seru bacotan sama dia.

Aku mencium punggung tangan kedua orangtuaku yang hanya terpelongo melihat kegusaranku.

Untung lagi pake celana, jadi gampang ngangkang pas naik motor.

"Kok naik moge sih?" Protesku sambil menaikkan sebelah kakiku.

"Komen aja! Gue udah telat nih" Kak Daisam menggas motornya penuh emosi. Belum naik dengan sempurna aku pun terjatuh.

"Au!!" Jeritku.

"Lama sih... Ayo naik!" Kak Daisam menurunkan alis, tampaknya ia memang sudah benar-benar telat. Bahkan ia tidak membantuku berdiri.

Aku pun naik ke motor dengan kasar dan raut wajah yang cemberut.

"Punya kakak 2 gaada yang bener" Cibirku yang ternyata terdengar kak Daisam.

"Ngaca dong dek!"

Sesampainya di rumah sakit aku tak lupa salim dengan kak Daisam meskipun tidak ikhlas.

Saat mencapai pintu masuk, aku melihat seorang pasien anak-anak berlumuran darah terutama di tangannya. Tangannya hampir renyak seperti terlindas tronton.

"Apa sudah ada dokter yang menangani?" Tanyaku pada suster yang tengah mendorong tempat tidurnya.

"Belum dok. Kami baru akan membawanya ke UGD" Jawabnya dengan wajah yang sangat panik.

Because AllahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang