Sab'ata wa 'Isyruuna ٢٧

6K 281 38
                                    

Hari ini adalah hari fitting baju pengantinku dengan Agha. Juga dengan Ashira. Aku hanya duduk disebuah bangku kecil di butik tersebut dan hanya memainkan ujung bajuku. Aku melihat Ashira yang duduk di kursi rodanya dan asyik tertawa gembira dengan Agha yang siap mendorong kursinya kapanpun. Hatiku terasa terenyuh melihat kemesraan itu. Mungkin akulah yang telah salah memilih keputusan ini, lagipula apa nanti aku sanggup harus berbagi sebagian milik Agha untuk perempuan tersebut? Aku pasti akan sangat terpukul dan bisa sering menangis. Tak sadar, mataku mulai berkaca-kaca ketika melihat mereka lagi.

"Ars" Agha menghampiriku dan duduk disebelahku, aku segera mengusapkan linangan air mataku. Aku bisa nelihat perempuan itu tidak suka dengan kehadiranku dan juga kedekatanku dengan Agha. "Kenapa lo sedih?"

Cewe mana sih yang ga sedih ngeliat cowonya sama cewe lain meskipun gue udah bilang setuju sama keputusan lo?. Tapi tetep aja ada sesuatu yang menghimpit hingga menyesakkan perasaan ini.

Aku menoleh padanya "gue ga sedih. Gue cuma terharu" dustaku. Aku tidak mau membuat orang lain khawatir karenaku.

"Agha... Liat yang ini deh! Ini pasti bagus" Ashira menunjukkan gaun berwarna merah marun yang baru diberikan oleh pemilik toko. Membuat Agha mengalihkan fokusnya.

"Bagus. Kamu pilih yang itu? Berarti ambil 2 ya" jawab Agha lembut "Ars, lo suka yang ini?"

"Umm... Boleh kok. Gue mah sabeb" aku merasa gairahku untuk menikah sudah hilang di detik itu juga. Aku bahkan malas memikirkan gaun pesta dan apapun yang berkaitan dengannya. Padahal aku sudah bilang kalau aku rela sepenuh hati. Tapi nyatanya... Aku tidak begitu. Kepedihan ini menyemati tubuhku.

"Lo sakit ya, Ars?" Ucap Agha yang kurasa sok peduli.

Iya, gue sakit hati Gha.

"Mau ke dokter?"

Dokter manapun gabisa ngobatin ini kecuali lo, Gha. Gue pernah bilang kalau lo lah orang yang bisa bikin gue nangis berlarut-larut tapi lo lah yang bikin kesedihan itu lenyap disaat itu juga.

"Kok diem?"

"Ah. Gausah. Gue cuma kebelet boker. Gue ke toilet dulu ya. Baik-baik ama Ashira" apa yang aku katakan? Itu terlalu frontal. Penjaga toko hingga ternganga mendengar kefrontalanku tadi.

Saat aku di toilet, aku segera memilih ruangan yang cukup besar dan menangis sepuasnya didalam hingga tidak peduli seberapa panjang antrian yang menumpuk. Aku pikir aku kuat menerima ini. Aku pikir aku benar-benar yakin kalau Agha terpaksa melakukan ini, tapi sikapnya berkata lain, ia terlalu akrab dengan perempuan itu. Aku pikir aku benar memilihnya, tapi ia telah membuatku sakit l a g i . Aku bodoh hingga tidak bisa memilih mana yang seharusnya aku jalani. Bukan menjadi yang satu-satunya jauh lebih menyakitkan dibandingkan harus digantungi perasaannya selama bertahun-tahun, digantungi masih ada harapan, tapi bukan menjadi satu-satunya seolah-olah bagaikan kertas yang dibakar dengan sengaja, hanya menyisakan abu yang rapuh dan tidak dapat kita lakukan apa-apa lagi untuk memperbaikinya. Hangus. Mudah terhembus sentuhan angin yang lemah sekalipun. Apalagi dibakarnya dengan sengaja. Itu juga menyakitkan.

Itulah yang mungkin aku rasakan. Perasaanku yang dihanguskan dengan sengaja bahkan apapun tidak dapat dilakukan untuk memperbaikinya lagi. Mudah terhembus, tergoyahkan dengan mudah oleh apapun sekalipun hanya hal sepele dan hilang terbawanya. Tidak tersisa apa-apa melainkan hanya ironi yang sempat tertancap dibenakku.

Sampai aku puas menangis, aku keluar dan mengusap wajahku yang basah dan menetralisir diriku kembali dari tangisanku tadi.

Bruk.

Saat keluar kamar mandi, aku tidak sengaja menabrak lelaki yang bertubuh atletis, membuatku segera memeluknya dan merasakan kelegaan dibenakku. Itu kak Daisam, ia balas memelukku meskipun ragu. Mungkin ia khawatir kenapa aku memeluknya tiba-tiba. Aku pun sedikit bingung kenapa dia ada disini.

Because AllahWhere stories live. Discover now