Tis'ata 'Asyaro ١٩

5.1K 288 3
                                    

"Gue sedih, gue potek. Gue mau ngelupain Agha. Perasaan gue sia-sia, please bantuin gue ngelupain dia Keel!" Aku menangkup seluruh wajahku dan menutupnya sambil duduk bersebrangan dengan Keela di cafe.

"Gu–gue mau bantuin lo. Tapi tolong jangan nangis lagi, gue ga kuat liat lo kayak gini. Please, tenang. Agha gapantes lo tangisin".

"Gue nangisin perlakuan dan sikap dia, bukan dianya" Bantahku

"Tapi lo nangisin bagian dari diri dia kan? Sama aja Ars" Suara Keela sangat menenangkanku. Ia juga menyadarkanku.

Aku menyingkirkan telapak tanganku yang lembab, wajahku lembab dan mataku sembab tidak karuan. Aku seperti orang yang tidak beriman telah menangis berlebihan.

Ternyata Hendry dan Eza sudah ada di depanku juga.

"Sabar ya Ars. Lo harus tegar" Kata Hendry.

"Don't be something weak, he's just an asshole" Sambung Eza.

"Iya Ars. Sayang juga itu hijab lo becek, mau gue peras?" Tawaran menarik Keela.

"Cot Anda! Makasih ya udah mau hadir disaat yang tepat. Oh iya, ga lama lagi gue bakal balik ke Turki minggu-minggu ini". "Jadi, ayo have fun!" Aku tidak mau terlalu lama terpuruk dalam kesedihan.

"What the hell? Cepet banget Ars!" Protes Keela, melotot dengan bentuk lingkaran sempurna.

"Iya, gue baru dapet telepon dari ikatan dokter Indonesia gitu, kalau gue bakal ke Palestina sama 4 dokter sukarelawan lain lewat Turki". Ucapku santai.

"Apa?! Lo! Lo, gila ya?" Mereka semua menautkan alisnya.

"Gila? Nggak lah, gue cuma mau bantu mereka. Bayangin kalau kalian di posisi mereka, sengsara banget kan pasti hidup lo".

"Terus, keluarga lo udah tau?" Tanya Eza, mengerutkan dahi.

"Hehe... Belom" Aku menggaruk tengkukku yang tidak gatal.

"Udah do'ain gue aja biar gue bisa bermanfaat disana, okay?" Aku tersenyum untuk meyakinkan mereka kalau aku akan baik-baik saja. "Ayo cepetan! Mumpung jam praktek gue udah abis nih!" Aku merengek seperti bayi.

Agha

"Segitu besarnya pengorbanan lo cuma buat ketemu gue, Ars. Gue masih ga percaya. Gue masih ga yakin kalo yang di bilang Hendry sama Eza bener, YaAllah gue bingung banget, kayaknya mungkin lo emang udah bener-bener kesini deh". Dumelku sambil berjalan menuju tempat Ashira di tinggal.

Wajahnya nampak cemas, aku tidak tau apa yang sedang ia pikirkan. Yang aku inginkan sekarang adalah Ghozy, Ya! dia! Ia pasti bisa memberi motivasi.

Setelah mengantar Ashira pulang, aku pun bergegas menuju kediaman Ghozy. Aku tidak menyangka, aku mendapati plang di rumah Ghozy kalau ia membuka praktek sebagai Psikolog di rumahnya.

Tanpa basa-basi aku memarkirkan mobilku dan masuk ke rumahnya dengan santai.

"Agha?!" Sahut Ghozy yang keluar dari pintu rumahnya membawa secangkir kopi.

"Ghozy!!" Kami berpelukan sepintas layaknya laki-laki dan saling menepuk punggung.

"Sahabat kurangajar emang lo! Datengnya pas lagi butuh doang, iya kan?!" Ghozy memang cenayang sejati, aku bangga.

"Hehe tau aja lo! Gue mau konsultasi sama lo" Aku di persilahkan masuk dan menduduki sofa berhadapan dengannya.

"Duduk gih! Ada apaan?" Tanyanya sambil menyeruput kopinya yang tampak nikmat.

"Arshiya, Zy" Jawabku dengan wajah muram.

"Arshiya yang lo omongin dulu banget yang sekarang cantik banget dan terkenal?!" Cerocosnya hingga kopinya  belepetan dimana-mana.

"Iya"

"Kenapa? Kenapa? Ceritain gece!" Entah kenapa Ghozy nampak sangat bersemangat.

"Gue pernah hampir nembak dia tapi ketunda sama suatu hal dan gue udah gantung dia bertahun-tahun dan tadi dia ngeliat gue sama cewe lain terus kata temennya dia nangis-nangis karena gue, gue harus apa? Gue kurangajar ya? Dia sebenernya salah sangka, cewe itu cuma temen kerja gue" Aku berbicara penuh penghayatan dan alisku terus menurun.

"Yaampun, lo bejat gue rasa. Dia udah salah paham, lo harus ketemu dia segera dan ngomong yang sebenernya. Sekarang, perasaan lo sama dia gimana? Dan saran gue, mending lamar dia sekalian. Gue yakin Arshiya sayang banget sama lo karena dia rela nemuin lo disaat dia lagi terkenal kayak gini".

Sama kayak Gnapti, nyuruh gue ngelamar Arshiya. Dikira ngelamar cewek segampang boker, apa?.

"Perasaan gue ke dia... Ga tentu Zy"

"Maksud lo? God! Lo kebangetan banget Gha"

"Iya... Gue dulu sayang banget sama dia, terus pas ketemu Ashira, gue rasa, cinta dia lebih pasti daripada Arshiya, tapi sekarang makin ga jelas. Sulit untuk memilih. Gue pengen cinta sama Arshiya tapi Ashira, cewek yang sakit kanker cinta sama gue dan gue gaenak mau ninggalin dia dan berpaling ke Arshiya. Gue bingung".

"Cinta lo cuma karena rasa gaenak sama seseorang, cinta gabakal bisa terbentuk cuma karena rasa 'gaenak'. Apalagi sama cewek yang baru lo kenal"

"Tapi Zy, gue ga ngerasa ada cinta yang terbentuk antara gue sama Arshiya, semua hanya seperti lembaran lusuh yang kotor dan kosong yang terus diterpa butir-butir kepahitan kenyataan. Gajelas".

"Itu yang lo rasakan? Harusnya lo ngerasain yang lebih, gue yakin kalau selama ini Arshiya ngerasa sesuatu yang lebih daripada lo ke dia. Setiap dia nongol di TV gue ngerasain di matanya banyak kesedihan akan kehilangan seseorang, dan gue yakin orangnya adalah, lo Gha"

"Arshiya keliatan seperti orang yang setia dan menghargai apapun yang ia miliki, termasuk rasa dia ke lo. Dia menyimpan rasa itu baik-baik berharap jawaban yang tidak menyakitkan terlontar dari mulut lo, dia menunggu kepastian  yang sebenarnya ga pasti bakal keluar dari lo. Gue yakin Arshiya mungkin udah ditaksir atau dilamar cowo lain tapi dia menunggu lo, karena dia gamau gegabah ninggalin lo gitu aja"

"Susul dia Gha cepetan!"

"Tapi gue bakal bertugas dan harus segera berangkat, Zy"

"Yaampun, Gha. Bolot banget sih!. Kerjaan dilakukan berkali-kali, tapi cinta yang tulus cuma sekali!"

YaAllah, berilah hamba kepastian. Hamba tidak mau menyakiti pihak manapun. Jadikan hambamu ini lelaki yang bijak.

Ini kesempatan gue, gue gamau nyakitin Arshiya untuk yang ketiga kalinya, dia terlalu berharga untuk menangisi gue.

Arshiya

"Guys! Bentar ya, gue mau angkat telepon dulu". Aku meninggalkan mereka sebentar disaat kita sedang asyik main DDR.

"Halo assalamualaikum" Sapaku. Yang ternyata itu adalah Pak Saru Gohan.

"Waalaikumsalam, maaf Saudari Arshiya, ternyata ada perubahan jadwal keberangkatan. Malam ini Anda dan 4 perwakilan dokter dari Indonesia harus di berangkatkan ke Turki dan esoknya akan dilanjutkan penerbangan dengan helikopter khusus yang disediakan Turki. Semuanya diubah mengingat pihak Israel terus menyerang Palestina".

Aku tercengang, bahkan aku belum izin kepada papa dan mama. YaAllah semua terlalu cepat.

"Baiklah. Penerbangan pukul berapa?" Tanyaku.

"Pukul 22 di Soetta. Namun harap kumpul dulu didepan terminal 2"

"Mengerti. Wassalamualaikum". Aku segera mengakhiri sambungan telepon, mengingat kini sudah pukul 8 malam dan aku harus segera bersiap-siap.

"Guys! Gue harus pergi sekarang ke Turki terus Palestina. Sedih sebenernya, tapi ini udah komitmen. Do'ain gue ya semoga semuanya lancar". Wajahku mulai merengut lagi. Kebahagiaan terlalu singkat.

"Amin!" Ucap mereka bersamaan.

"Cepet banget sih, Ars! Lo kuat banget sih. Baru aja dipotekin Agha sekarang lo harus berjuang lagi, semangat ya!" Ucapan Keela membangkitkanku.

Aku sadar akan adanya perpisahan setelah pertemuan, adanya kebahagiaan setelah kesedihan dan adanya sakit setelah mencintai.

"Take care ya, Ars!" Kalimat yang mungkin akan terakhir kali kudengar dari Keela, Eza dan Hendry.

Because AllahWhere stories live. Discover now