2.

3.6K 323 20
                                    

Baru kali ini Dio ketemu seseorang di luar pemikirannya. Biasanya anak-anak yang lain bakal marah atau ciut setelah diganggu si Dio.

Tapi Rafa nggak menunjukkan emosi yang bergejolak. Dia sama tenangnya, sama berengseknya dengan Dio. Dan, logikanya berputar satu frekuensi dengan logika Dio.

"Gimana bisa dia langsung iyain pas gue bilang nggak mau minta maaf? Haha berengsek," gumam Dio.

Dia lagi duduk di kasurnya sambil bersandar ke tembok. Dio pakai kaus putih tanpa lengan dan celana pendek biru gelap.

Dio bisa membaca pikiran Rafa yang berputar dengan cepat tadi, saat menerima kalau Dio nggak mau minta maaf, setelah Dio sengaja menabrak Rafa.

Karena Rafa sadar kalaupun Dio minta maaf tetap saja dia nggak merasa bersalah. Kata maaf itu cuma ucapan di bibir Dio saja.

Buat apa mendapat permintaan maaf palsu? Itulah pikiran Rafa yang bisa memahami pemikiran Dio, di mana Dio juga mengerti apa yang Rafa pikirkan.

"Makanya gue nggak suka berantem, ngapain. Lagian gue udah liat orang berantem di rumah tiap hari,"

"tapi kalo ada yang bisa diajak musuhan gini, gue ladenin," Dio merasa antusias.

Di pikiran Dio hanya ada Rafa dan cara untuk membuat cowok itu menyerah sampai memohon ke Dio supaya berhenti mengganggunya.

Ah, puas banget kalau itu terjadi.

Belum selesai Dio memikirkan ide, terdengar suara memanggilnya.

"Dio," panggil papa Dio.

"Ya Pa," sahut Dio.

Lantas Dio beranjak dari kasurnya menuju dapur, di mana suara papanya berasal. Terlihat papa Dio sedang menumis buncis, wortel, dan potongan sosis di wajan di kompor.

Papa Dio menoleh ke anaknya saat Dio berjalan mendekatinya. Beliau berkata, "Dio, kamu goreng cuminya ya. Itu ditepungin dulu terus digoreng."

"Siap," jawab Dio menuruti saja. Dia melihat bahan dan perlengkapan masak yang dimaksud papanya sudah disiapkan.

Dio membalur cumi-cumi dengan tepung bumbu lalu memanaskan minyak di wajan di sebelah tumisan yang sepertinya sudah mau matang.

Tapi Dio penasaran, "Mama mana?"

"Mama dinas ke luar kota," kata papa Dio.

"Oh," Dio paham.

Percakapan nggak berlanjut, terhenti sampai di situ saja.

Sekarang cuma terdengar suara spatula bergesekan dengan wajan, gorengan yang memercik di minyak panas, dan kata hati yang nggak diucapkan secara lisan.

Nggak berbicara, Dio sebenarnya sedang berpikir.

Kayaknya Mama dinas sama Pak Bram, kalo nggak salah, gue denger tadi pagi.

Dio membalik cumi yang sisinya belum terendam minyak panas biar matang digoreng seluruh bagiannya.

Apa Mama suka sama Pak Bram. Ah. Mungkin Mama lebih seneng jalan sama Pak Bram, daripada sama Papa sama gue.

Dio meniriskan cumi goreng tepung yang sudah matang di atas wajan. Tetesan minyak jatuh ke wajan, sedikit yang menetes. Lalu Dio taruh cuminya di piring.

Dio sudah biasa dengan papanya yang gantian masak ketika mamanya sedang nggak di rumah.

Selalu masaknya yang paling gampang dan cepat. Tapi sering juga mereka order makanan pesan antar saat sedang mager.

Kedua orang tua Dio pekerja kantoran yang pulangnya sore. Sejak kecil Dio nggak bisa dekat dengan mereka karena keduanya sibuk bekerja---dan bertengkar.

crash and burnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang