20.

1.9K 202 11
                                    

"Gapapa, gausah lebay," gumam Rafa.

Dio merasa lega, "Ya udah," katanya.

Gue sama dia jadi suka nanyain kondisi masing-masing, ngapain coba, pikir Rafa, tapi dia merasa gapapa kalau mereka begitu.

Dio sendiri nggak paham kenapa dia tadi asal meluncur ke situ, menyusul Rafa. Padahal, nanti juga bakalan bareng pas pulang.

Tapi gue merasa kepengen aja deket dia, Dio mengakui dalam hatinya.

Dari bangku dan meja di kejauhan, Emil mengamati Rafa yang terlihat sedang berinteraksi dengan Dio di kantin. Emil cuma diam memandangi mereka.

Zain yang baru saja memakan sesendok nasi goreng dan menggigit cabe rawit ijo, kini mendongak setelah barusan dia menunduk.

Zain duduk di seberang Emil dan dia tersadar kalau Emil sedang nggak fokus dengan nasi gorengnya.

Zain mengikuti arah pandangan Emil yang ternyata menuju kantin. Ada Rafa bersama Dio juga ternyata.

Kaget, seketika Zain waspada, "Ngapain itu si cunguk Dio ngedeketin Rafa, kok pas dia di sini juga."

"Hm? Entahlah," sahut Emil sedikit menyipitkan mata.

Emil menyadari kalau Rafa barusan terlihat tersenyum dan Dio di sebelahnya berbicara entah apa sambil terkikik.

Ada apa nih, sekarang mereka berteman? Aneh sih, tapi, berasa nggak salah juga, karena Rafa keliatan nerima aja, tapi tetep aneh, pikir Emil.

Di sisi lain, Zain selalu waspada sekaligus kurang peka terhadap apapun yang tersirat. Jadi Zain nggak menangkap situasinya di mana Rafa memang nggak kenapa-napa.

Tiba-tiba Zain bersiap mau berdiri, "Kalo Dio macem-macem, gue nggak akan tinggal diam."

"Zain," kata Emil, "kalem, lo duduk. Rafa gapapa, percaya sama gue."

Zain menoleh ke Emil dan mendapati muka Emil terlihat serius, dan Emil juga sedang menatap Zain.

Lalu Zain kembali menoleh ke Rafa yang sedang bersama Dio di kantin sana. Kemudian Zain balik menoleh ke Emil yang sedang duduk di situ di hadapannya.

Emil masih memandangi Zain.

"Percaya," Emil mengulangi ucapannya.

Zain menghela napas, "Iya," katanya singkat.

Lalu Zain nggak jadi berdiri, dia duduk saja sambil menyeruput es jeruk Nutrisari-nya. Sementara Emil senang kalau temannya menurutinya.

Emil paling santai, tapi dia pandai membaca situasi. Membaca orang juga. Dia suka rame, tapi Emil mudah memahami sikon yang ada.

Gitu aja, aktivitas murid-murid di kantin food court itu berlanjut sampai bel masuk berbunyi.

Di kelas. Nggak sabar menunggu jam pulang, saat bunyi bel itu terdengar, Dio mengemasi barangnya dengan bersemangat. Axel di sebelahnya nggak menyadari itu.

Tahu-tahu Dio sudah memakai jaket hitamnya. Dia pun menyampirkan kedua tali ransel hitamnya di bahu sambil berdiri dari bangku.

Jelas Axel langsung mengerutkan alis memandangi Dio.

Axel protes, "Widih buru-buru."

"Gue udah janjian Sel," kata Dio menoleh ke Axel.

Terdengar suara berisik percakapan murid-murid yang melangkah keluar dari kelas. Satu per satu teman sekelas mereka meninggalkan ruangan.

crash and burnWhere stories live. Discover now