17.

1.7K 212 33
                                    

Sejujurnya Rafa nggak pernah menyangka, kalau dia bakalan berada di titik ini. Saat dinamika di antara Dio dan Rafa itu berubah, semua jadi buram, ngeblur.

Rafa nggak bisa memahami batas antara bermusuhan dan berteman. Seakan batas tersebut hilang begitu saja.

Satu hal yang jelas, Rafa nggak suka kalau Dio bersikap dingin ke dia, seperti sekarang ini.

Oke dia selalu gini ke gue. Dia semaunya, anaknya nggak pedulian. Berengsek tapi dia cakep---maksudnya dia asshole. Tapi bukannya kemarin kita bisa gitu nggak ribut.

Gue sendiri ngerasa gapapa berdua sama dia, maksudnya pas ke kantin kemarin. Dia juga, malah ngasih jajan ke gue. Ngasihnya maksa, gimana gue mau nolak.

Terus sekarang kenapa dia begini. Bego. Apa cuma gue yang ngerasa kalo kita udah bisa dibilang teman. Sementara Dio tetep aja ngajakin musuhan. Apa sih masalah dia.

"Muka lo kenapa gitu," kata Zain, membuat Rafa terkejut. Rafa menoleh ke Zain yang berdiri di dekatnya.

Mereka di kelas pagi-pagi ini, setelah barusan Rafa meninggalkan Dio yang bersikap malas ke dia.

"Gapapa, gue cuma lagi mikir," Rafa jujur menjawab Zain.

Kemudian, Zain tetap berdiri sambil setengah duduk di tepi meja Rafa.

"Mikir apa lo pagi-pagi?" tanya Zain.

Kata Rafa, "Mikir Dio."

"Kenapa, lo diapain sama dia," seketika Zain waspada.

Tapi Rafa berkata lesu, "Dia jahat sama gue. Dia emang ngaco anaknya, tapi kita kan mulai akur, terus tiba-tiba dia jauhin gue. Kenapa, gue nggak ngerti."

"Apalagi gue, nggak paham sama sekali," Zain heran, "lagian kenapa juga lo masih berurusan sama Dio. Bukannya dia cuma nyusahin lo."

"Nggak ngerti," gumam Rafa.

Zain to the point, "Tuh kan, dan kayaknya kalian udah nggak pernah main prank lagi. Berarti kan udah kelar. Lo nggak perlu ngurusin Dio, abaikan aja dia."

"Gue," nggak pengen mengabaikan Dio, batin Rafa tapi nggak diucapkannya.

Zain cuma mendengar Rafa bilang 'gue' lalu Rafa terdiam. Zain geleng kepala.

Gue nggak bisa mengabaikan Dio, gue nggak mau, Rafa mengakui dalam hatinya. Tiba-tiba terasa menyesakkan dalam hati Rafa.

Napa gue sekecewa ini. Lagian gue udah biasa ribut sama Dio, tapi tadi, beneran dia keliatan benci sama gue. Asli gue pengen pikiran ini pergi.

Rafa terjebak dalam perangkap emosi yang dia buat sendiri. Dia kebawa perasaan dan jadi kepikiran.

Dio membuang puntung rokoknya ke tempat sampah di parkiran. Dia tadi berjongkok sambil melipir di sebelah motornya yang diparkir di pojokan.

Lalu, Dio berdiri dan berjalan ke kelas. Jam istirahat pertama sepertinya bakal berakhir. Sambil berjalan, Dio berpikir.

Sepi sih ngejauh dari Rafa. Nggak terasa udah tiga hari aja gue nggak ngomong sama dia. Nggak bertatap muka juga. Tapi mending gini. Cunguk lo, Dio membatin sendiri.

Gue maunya nggak mikirin, malah kepikiran. Niatnya ngejauhin Rafa, jadinya malah keinget dia.

Gue nggak pengen kalo gue makin deket sama Rafa, pikiran gue ke dia semakin nggak masuk akal, nggak bener. Gue pengen menyentuh dia, megang dia, gandeng tangannya.

crash and burnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang