22.

1.7K 207 26
                                    

Sebenarnya Dio juga nggak mengerti omongan dia tadi. Kenapa dia bilang dia mau mundur, menjaga jarak dari Rafa. Memangnya dia lagi pedekate ke Rafa.

Aneh tapi nggak salah juga. Hah?

Apa yang gue pikirin, batin Dio.

Si Dio memang selalu jujur, tapi dia cukup payah dalam mengekspresikan apa yang dirasakan, dipikirkan.

Dio sering nggak mengerti apa yang harus dilakukan dengan emosinya. Dia cuma tahu apa yang dia rasakan, tapi nggak paham itu harus diapakan.

Jadilah Dio kaku. Dia kalem, smooth, tapi memang nggak pedulian, kecuali terhadap hal-hal dan orang-orang yang penting baginya, dan itu bisa dihitung dengan jari.

Sebab, Dio nggak pernah merasakan ikatan emosional yang tepat, terutama dengan orang tuanya, akar dari semuanya.

Sikon buruk keluarganya turut berperan. Mamanya yang nggak pernah peduli dengan anak-anaknya, cuma bisa marah dan mengomel, nggak pernah mendengarkan.

Itu membuat Dio memilih untuk diam. Kalo ngomong salah, diem juga salah, mending diem aja, itu pikiran Dio.

Dia pun terus seperti itu sejak Dio mulai mengerti, kalau mamanya nggak bersikap seperti seorang ibu sebagaimana mestinya. Sepertinya sejak Dio kecil.

Nggak beda jauh dengan papa Dio. Serasa Dio sulit menjadikannya panutan. Dio pun nggak sedekat itu dengan papanya. Komunikasi mereka juga terbilang minim.

Menurut Dio, beliau orang yang baik, tapi seperti nggak punya daya juang. Papa Dio juga selalu menuruti saja. Lebih tepatnya, mengalah kepada istrinya.

Beliau seperti nggak tahu cara untuk mengarahkan istrinya agar menurutinya, menghargainya. Beliau terlalu menerima, pasrah berlebihan.

"Huft," Dio menghela napas pelan. Dia memilih berhenti dulu memikirkan keluarganya, pikiran yang suka melintas tanpa permisi di benaknya.

Lampu merah membuat Dio menghentikan motornya di belakang sedan Honda Civic di depannya. Iya, mereka lagi di jalan, Dio dan Rafa, boncengan.

Tersadar dia sedang bersama Rafa, Dio merasakan kesenangan yang aneh. Nyaman.

Akhirnya, ini pertama kalinya gue boncengan sama dia, sedeket ini kita, haha bego, batin Dio.

Sementara di belakangnya, Rafa celingukan memperhatikan kendaraan lain di sekitarnya. Lalu dia memutuskan untuk melihat ke depan melalui bahu kiri Dio.

"Rafa," panggil Dio.

"Hm?" sahut Rafa.

Kata Dio, "Lo bilang masih mau musuhan kan. Gue tantangin lo sekarang, tapi lo berani nggak."

"Apa lagi sih, masih aja ternyata," Rafa beneran lelah.

Dio terkikik, "Lo peluk gue atau gue turunin lo di pojokan depan sana," katanya sambil menunjuk pojok jalan, tempat sebuah kedai kopi kecil dengan konsep terbuka.

Rafa langsung mengerutkan kening nggak terima, "Apa sih mau lo. Kalo emang ga niat bareng, bilang daritadi. Pake acara nurunin di tengah jalan."

crash and burnWhere stories live. Discover now