28.

512 47 18
                                    

Sejujurnya nggak perlu ada alasan, kenapa kita bisa suka sama seseorang.

Tapi kalau Dio perlu menjelaskan kenapa dia bisa suka sama Rafa, jawabannya tak terhingga. Oke maksudnya nggak terdefinisikan.

Soalnya Dio mengikuti saja kata hatinya, dan hal tersebut bukan teka-teki yang perlu diberi definisi atau jawaban.

Cuma, ini nih, ternyata setelah bersama pun, hubungan mereka nggak sesimpel itu. Bodoh, tapi terjadi juga.

Sekarang hari Jumat dan Dio lagi mampir ke kelas Rafa di 11 MIPA 1 sepulang sekolah.

Dio tadi meninggalkan Axel yang aslinya mengajak dia nongkrong buat Friday night, tapi Dio bilang nggak bisa.

Axel pun ganti mengajak Heidi yang katanya adalah, pacarnya? Hm. Asli Dio merasa perlu memastikan lagi.

Soalnya tahu sendiri kalau Axel bukan tipe pacar, melainkan gebetan, yang artinya hubungan dia sama Heidi cuma bermaksud sementara dan untuk have fun.

Apa iya si Axel beneran pacaran, kalo ceweknya serius dan Axel-nya enggak, mengkhawatirkan, pikir Dio,

atau sebaliknya, Heidi yang sadis? Axel kan dari dulu sukanya sama cewek yang sadis-sadis dan akhirnya Axel yang ditinggalin.

"Fuck kenapa gue musingin Axel. Cowok gue sendiri aja, udah bikin pusing," gumam Dio.

Cowok gue, batin Dio. Kalau melihat hubungan mereka sekarang, Dio merasa baru bisa menyebut Rafael sebagai cowoknya--yang nggak sepenuhnya berarti pacarnya.

Pas Dio lagi membatin sendiri, Rafael keluar dari pintu kelas, tumben duluan karena biasanya dia di tengah-tengah atau terakhir sendiri di antara gerombolan teman-temannya.

Rafa mengenakan sweater berwarna krem beige yang menurut Dio lucu dipakai doi, seperti warna bulu hamster. Ingin Dio mencubit pipi Rafa.

Tapi Dio cuma menyapa, "Rafa."

"... Dio," Rafa langsung menoleh dan sedikit terkejut melihat Dio.

Dan seketika Dio tersenyum, "Hei, ayo pulang."

"Hmm," Rafa bergumam setuju dan mukanya terlihat sedikit malu.

"Lo bareng dia?" tanya seseorang dari belakang Rafa.

Seketika Rafa memutar badan ke belakang, diikuti Dio yang ikutan menoleh. Mereka berdua melihat Emil dan Zain berdiri di situ.

Emil membuka kedua matanya lebar-lebar dengan muka penasaran, sedangkan Zain nggak menutupi ekspresi menuntut dari wajahnya.

Lalu Zain mengedikkan kepalanya ke arah Dio. "Lo jadi sering bareng dia?" tanya Zain ke Rafa.

"Kenapa?" Rafa berkedip.

"Lo gak diapa-apain kan sama dia? Kali aja lo diem-diem digebukin, terus lo diancem buat tutup mulut, dan lo nurut aja," tuntut Zain.

Dio bermuka bosan, "Lo kira ini FTV? Gue cuma barengan aja sama Rafa, gak pake embel-embel ngebully dia di belakang."

"Wajarlah gue berasumsi, tau sendiri tingkah lo kayak apa," Zain makin sengit berbicara, dia memicingkan mata menatap Dio.

"Tingkah gue kayak apa? Lo tau apa," kata Dio dingin, "jangan sok tau lo."

"Dio, gak penting," Rafa nggak berpikir dan langsung meremas jari-jari tangan kiri Dio dengan tangan kanannya.

Dio sedikit terkejut tapi senang, dia pun merasakan ketenangan, dan Dio balas meremas tangan Rafa dengan lembut. Kemudian Rafa melepaskan tangan Dio.

crash and burnWhere stories live. Discover now