1. Kehilangan Ibu

689 45 19
                                    

Seorang anak laki-laki berusia 11 tahun, duduk setia menemani sang ibu yang terbaring lemah. Terdapat infus, oksigen, dan kabel-kabel yang menempel pada tubuh untuk memantau kondisi fisiologis pasien. Kedua tulang pipinya menonjol, wajah pasi dan kumal, rambut lepek tersisa setengah dari semula saat dia sehat. Kerontokan parah yang dialaminya karena pengaruh kemoterapi yang sudah dilakukan sebanyak lima siklus.

Terisak, Arsya menggenggam erat tangan Ibu. "Aku mohon, Ibu, Ibu tetap bertahan untuk aku, aku tidak tahu bagaimana nanti kalau tanpa Ibu, aku takut, Bu." Kepala anak laki-laki tersebut menyandar lemah pada lengan kecil sang ibu.

Bibir pucat Winda bergetar, merasakan air mata sang putra yang terus membasahi lengan. "Arsya sayang, kamu sangat berati untuk Ibu. Maafin Ibu, Arsya. Ibu sempat tidak menginginkanmu. Ibu sangat beruntung memiliki kamu, Ibu sangat sayang sama kamu, kamu adalah anak yang baik, pintar, seperti namamu yang bu Lidya berikan."

Winda mengelus kepala si buah hati. "Tolong, selalu ingat perkataan Ibu jika sesuatu terjadi pada Ibu."

"Ibu, tolong jangan nakutin aku, Bu." Arsya mengeratkan genggaman pada tangan Ibu.

Seorang wanita mengenakan rok selutut dan blazer hitam, memasuki ruangan.

Winda menoleh dan memberikan senyuman getir. "Bu Lidya," sapanya.

"Winda, kamu pasti sembuh, ya? Apa pun akan saya lakukan untuk kesembuhan kamu." Lidya menyemangati dan memberikan senyuman penuh harap. Tangan kanan menggenggam si pasien.

Winda meringik haru. "Ibu ini manusia atau malaikat? Kenapa Bu Lidya begitu baik. Dari dulu sampai sekarang, Bu Lidya sangat baik pada saya, padahal saya hanyalah seorang pembantu. Bu Lidya sudah menghabiskan begitu banyak uang untuk pengobatan dan terapi saya selama ini. Saya tidak pantas lagi untuk mendapatkan kebaikan ini, Bu--"

Lidya memotong pembicaraannya, "Hust hust, Winda, sudah. Kita ini sesama manusia, jangan memandang tahta, kita sama. Karena saya lebih mampu, jadi saya berkewajiban untuk menolong sesama."

"Saya tidak tahu harus berkata apa selain terima kasih. Saya takut kalau saya mati. Arsya masih butuh saya." Air mata kembali membasahi kedua pipi.

Arsya menggeleng-geleng cepat, ketakutan. "Tidak, Bu."

"Saya janji, saya akan selalu menjaga Arsya, dia akan mendapatkan pendidikan yang sepantasnya," kata Lidya, mengangguk meyakinkan Winda.

Winda mendekap sang putra.

Hari demi hari, keadaan Winda tidak juga membaik. Lidya selalu menjenguk dan menghibur Arsya. Hingga keadaan Winda begitu parah, sudah tak sadarkan diri. Terbaring tak berdaya bersama life support yang melekat pada tubuh.

Arsya kini menangis menunggu Ibu. Lidya hanya bisa merangkul dan memberikan harapan kepada anak laki-laki itu.

"Tenang, ya?"

"Saya takut, Bu, saya takut Ibu kenapa-napa. Ibu sudah lama menderita terus sakit-sakitan, dan Ibu sudah tiga hari tidak bangun. Saya takut." Anak laki-laki berkulit kuning langsat ini menunduk tersengut-sengut.

"Kita terus berdoa untuk kesembuhan Ibu kamu, ya?" Si wanita berambut hitam bergelombang--menunduk menilik wajah Arsya, hatinya terenyuh tak tega.

Matanya berkaca-kaca mencemaskan Winda dan merangkul Arsya. Keduanya berkesiap saat melihat dokter keluar dari ruang.

"Mohon maaf, Bu Winda telah tiada, kami turut berduka," kata Dokter. Wajahnya bersedih menunjukkan bela sungkawa.

"Ibu!" teriak Arsya seketika, lari menemui Winda.

Lidya masih membatu.

Arsya mendekap erat jasad sang bunda, teriak histeris. "Ibu! Tidak mungkin! Ibu, jangan tinggalin aku, aku sayang sama Ibu ... Ibu!"

Dadanya begitu sesak. Ketakutan yang selama ini selalu menghantuinya, kini menjadi kenyataan bahwa Arsya kehilangan ibu tersayang. Ia berpikir bagaimana hidup tanpa seorang ibu.

Lidya memasuki ruangan, melihat Winda dan anaknya. Bibir berlipstik merah delima itu bergetar, air matanya berjatuhan, tak kuasa melihat Winda yang sudah dikenal sekitar 12 tahun lalu, sudah tak bernyawa. Tak hanya sekedar asisten rumah tangga, Lidya juga selalu menganggapnya sebagai sahabat.

"Ibu, Ibu, aku tidak mau sebatang kara, Bu, Ibu! Tolong jangan tinggalin aku! Aku takut, Bu!" Arsya terus teriak, sekuat tenaga mengguncang tubuh yang sudah terbujur kaku.

Lidya berjongkok memeluk punggung Arsya. "Sabar, ya, Arsya? Kamu harus kuat. Ingat pesan ibumu, kamu harus jadi anak yang kuat. Arsya, kamu tidak sebatang kara, ada Bu Lidya, bi Rita, mbok Sari, kak Kevin, Clara, dan lainnya. Ya?"

"Saya sudah tidak punya ibu lagi, Bu Lidya, saya kangen Ibu, saya mau Ibu kembali."

Lidya terus mendekap Arsya. "Kamu harus ikhlaskan kepergian Ibu. Kamu harus sabar, kuat. Kamu tidak sendiri, Bu Lidya akan selalu ada buat Arsya, ya?"

Lidya menelepon asisten untuk membantu pengurusan jenazah Winda. Jazadnya disucikan dan dimandikan selayak mungkin, kemudian dimakamkan.

Lidya, Kevin, Clara, Tono, Mbok Sari, Bi Rita, dan Arsya, menatap gundukan tanah penuh bunga. Arsya tetap memeluk nisan dan menangis sesenggukan.

Bi Rita berjongkok dan menggenggam pundak Arsya. "Arsya, ayo kita pulang."

"Saya pengen terus di sini, Bi, saya mau terus sama Ibu." Arsya menggeleng tak menurut.

"Arsya, ingat pesan Ibu, kamu itu calon laki-laki dewasa. Ibu bilang, kamu harus tangguh dan kuat, tidak boleh terus-terusan menangis. Ayuk, pulang." Bi Rita terus membujuk.

Arsya tetap menggeleng, tidak mendengarkan Rita. "Ibu! Ibu!"

Semua bingung melihat Arsya yang terus menangis dan tidak mau pulang. Mereka pergi meninggalkan makam, hanya Bi Rita dan Lidya yang masih menemani si anak laki-laki. Keduanya berjongkok dan terus membujuk anak laki-laki yang tengah berduka tersebut untuk pulang, tetapi anak ini menggeleng, terisak, dan tetap memeluk nisan.

"Arsya, ingat perkataan ibumu, Ibu akan marah kalau kamu tidak nurut sama Bu Lidya. Ayuk kita pulang, jangan bikin ibumu marah dan kesal, ya? Kamu kan anak yang baik, kamu harus nurut," bujuk Lidya.

"Iya, bener apa kata Bu Lidya, kamu harus nurut sama Bu Lidya, kalau ndak, ibumu nanti marah, sudah kita pulang, ya? Ibumu ndak suka lihat kamu menangis terus," sahut Bi Rita.

Arsya masih kukuh, tidak mau pulang.

"Ibumu mau kamu jadi anak yang nurut. Bibi tahu kamu sangat sedih, tapi juga kamu harus ingat, bahwa semua milik Gusti Allah, termasuk ibumu, kamu harus belajar ikhlas, ya? Kami tahu perasaanmu pasti sangat bersedih, tapi kamu harus belajar sabar dan kuat, ya?" bujuk Bi Rita lagi.

Arsya terdiam, memikirkan pesan-pesang sang ibu.

"Ayuk pulang, Arsya, kamu masih punya kami." Lidya terus mencoba membujuk dan menenangkan Arsya. 

Kami yang BerdosaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang