37. Mengakhiri

129 22 21
                                    

Seorang gadis mengenakan celana jeans panjang dan tank top yang dibalut kemeja kotak-kotak, duduk di bangku taman menunggu seseorang. Menjelang petang, kebanyakan orang kini menuju keluar taman.

Tidak lama kemudian, Arsya datang menghampiri dengan mengenakan jaket hitam dan topi hitam. Celingukan untuk memastikan tidak orang yang mengenali dirinya.

Clara memanggil pelan namanya. Menaikkan pelan sebelah alis menatap curiga pada kekasih gelapnya. Perasaannya sungguh tak enak.

Sesaat Arsya hanya kesusahan menelan liur. Ia menghempaskan napas melalui celah mulut, kemudian melangkah dua kaki dan menatapnya sendu.

"Clara, saya mau mengakhiri hubungan terlarang ini. Mulai sekarang, kita akan hidup seperti dulu, kamu yang nggak pernah peduli dengan saya. Kita yang tinggal satu rumah, tapi nggak pernah saling mengenal," ucap Arsya yang sesekali menunduk.

Kedua mata Clara membulat, tubuhnya menegang. Sementara Arsya kembali mengumpulkan napas, tubuhnya membutuhkan lebih banyak udara.

Arsya mengusap hidung dengan jari telunjuk dan ibu jari.
"Saya terus dihantui dosa dan rasa bersalah. Saya yang menemani Bu Lidya saat perutnya dibelah untuk mengeluarkan anak kami. Saya melihat dan terus menyadari perjuangan Bu Lidya dari awal kehamilan hingga akhir."

Ia mendongak, matanya nyalang menatap awan gelap, tahu bahwa sebentar lagi akan turun hujan.

Arsya melanjutkan. "Bukan hanya itu, Bu Lidyalah yang membuat saya seperti ini. Saya diangkat derajatnya oleh Bu Lidya, saya selalu diperlakukan baik olehnya. Meski usia kami jauh berbeda, tapi Bu Lidya selalu menghormati saya sebagai suaminya, selalu memperlakukan saya sebagai semestinya seorang istri terhadap suami."

Wajah laki-laki tersebut memanas, menunduk dalam dan menyesali perbuatannya. Clara mengangguk kecil, juga tersadar atas kesalahan diri. Mengkhianati sang ibu yang selama ini telah memberikan kasih sayang yang tak terhitung.

Arsya sedikit mengangkat dagu, kembali melihat wajahnya. Masih mengagumi cantiknya wajah Clara yang tidak bisa ia miliki.

"Sekarang, saya adalah ayah dari adikmu. Kamu dan Keisha, terlahir dari rahim yang sama, bahkan wajah kalian memiliki kemiripan. Keisha adalah darah daging saya dan Bu Lidya, dan juga adik kamu sendiri." Embusan napas panjang lolos melalui mulutnya yang terbuka.

"Saya dan ibumu yang telah terikat dengan pernikahan sah secara agama dan hukum. Kami yang telah bersatu dan menghasilkan buah cinta. Keisha yang semakin menyatukan saya dan Bu Lidya. Keisha adalah ikatan kami, Keisha adalah jiwa dan raga kami yang menyatu." Arsya berdeham pelan beberapa kali, tenggorokan serasa sangat kering.

Clara hanya mematung meresapi apa yang telah diucapkan Arsya. Menyakitkan, seperti silet yang melukai hatinya.

"Meski kamu dan saya juga memiliki ikatan cinta, tapi itu cinta yang terlarang. Bu Lidya yang begitu tulus menyayangi saya tanpa pamrih, saya sudah nggak sanggup lagi untuk terus berkhianat kepadanya." Berulang kali Arsya mengatur napas.

"Saya sangat mencintai kamu, Clara, tapi takdir kita memang nggak mungkin untuk bersama. Saya nggak mau terus memaksakan takdir kita. Kita terus bermain api seperti ini. Sebelum api itu membakar kita, kita harus padamkan apinya."

Ya, Clara setuju atas apa yang Arsya ucapkan. Bibirnya berkedut, pahit kenyataan yang dia harus hadapi.

"Mereka bilang, cinta tidak harus memiliki. Itu berlaku untuk kita. Kita nggak akan pernah memiliki satu sama lain, sampai kapan pun. Sampai sekarang, nggak ada satu orang pun yang mengetahui hubungan terlarang kita. Hanya kita dan Tuhan yang mengetahui ini, mungkin ini tandanya bahwa Tuhan masih memberikan kita kesempatan untuk menghentikan perbuatan terlarang kita. Kita harus berhenti, kita ini menyakiti orang kita sayangi."

Sedari tadi Clara hanya menjadi pendengar. Dadanya semakin memanas, kini dia membuka suara. "Gue tahu, Arsya, emang harusnya kita nggak pernah lakuin hubungan terlarang ini. Gue pelakor mama gue sendiri, gue juga selalu ngerasa bersalah," ucap Clara, wajahnya sendu penuh sesal, mulai berkaca-kaca.

"Saya akan menghapus dan mengubur dalam-dalam semua tentang hubungan kita. Kamu harus kuat, dan saya doakan kamu akan mendapatkan laki-laki yang bisa membuatmu selalu bahagia," kata Arsya penuh harap.

Bibirnya mendekat ke telinga Clara dan berbicara pelan, "Selamat tinggal, Clara, kamu yang terindah dalam hidup saya, tapi kamu itu dosa dan kesalahan terbesar saya yang harus saya tinggalkan."

Ia berbatuk pelan untuk mengeluarkan sedikit rasa sesak di dada. Mundur beberapa langkah. Keduanya menegakkan kepala, bertatap satu sama lain. Bibir berlipstik merah muda itu bergetar hebat, sekuatnya menahan isak.

Tidak tega melihat wajah Clara yang penuh kesedihan, Arsya berpaling dan menunduk.

"Kita nggak akan pernah bersatu, bahkan sampai mati pun, nggak akan pernah," ujar Arsya kembali menyadarkan diri dan juga Clara.

Clara tidak sanggup lagi mengontrol, suara isakan akhirnya terdengar jelas di telinga Arsya. Tak lagi bisa berbuat apa pun, Arsya hanya mematung. Mundur beberapa langkah perlahan, berbalik dan meninggalkannya.

Clara menatap punggung Arsya yang semakin menjauh hingga tak bisa menjangkaunya. Gadis ini berjalan pelan menuju ke tempat parkir yang berjarak 100 meter.

Dia menutup pelan pintu mobil. Kedua tangan mengusap kepala dan menekannya kuat, terasa panas, berat dan tertekan. Batinnya merasakan benar-benar kehilangnnya. Tak lagi bersembunyi-sembunyi untuk bisa bersamanya, tak lagi menunggunya di hotel. Sekilas muncul bayangan-bayangan saat bermesraan dengannya.

Kedua tangan menggenggam setir kuat-kuat. Menggeram, kembali mengusap kepala, lalu bersandar pada sandaran kursi.

Dia menyalakan mesin mobil, kakinya bersiap untuk menginjakkan gas. Saat mobil memasuki jalan raya, Clara menaikkan kecepatan dan berteriak frustrasi.

Mobil melaju cepat, menyalip kendaraan satu per satu. Terngiang semua perkataan Arsya saat perpisahan. Clara tidak fokus menyetir, hampir menghantam mobil yang berlawanan arah, tetapi dia berhasil menghindar.

"Kenapa nggak tabrakan aja tadi!" Itulah pikiran bodoh Clara, egois sekali jika dia menabrak kendaraan yang tak salah apa-apa dan tak tahu masalah Clara.

Mobil putih tersebut masuk ke tol menuju Tangerang. Hujan semakin deras, Clara keluar tol saat memasuki kota tersebut. Memberhentikan mobil di pinggir jalan.

Terisak, kedua tangan mengepal kuat kepala dan mengacak rambut.

"Gue tahu gue salah, tapi kenapa gue sesedih ini, gue bener-bener ngerasa kehilangan lo. Arsya, gue nggak tahu gimana caranya buat ngilangin rasa cinta gue sama lo!" teriak frustrasinya.

Kedua tangan mengepal dan memukul stir terus-menerus hingga lelah, pukulan pun melemah. Tubuhnya serasa tak bertulang, dia bersandar lemah pada pintu mobil.

Kelopak matanya sudah membengkak, hidungnya merah dan masih tersumbat. Melamun, memikirkan hubungan bersmanya telah berakhir. Hubungan yang bahkan seharusnya tak dijalin.

Kami yang BerdosaWhere stories live. Discover now