42. Tak Disangka

112 23 31
                                    

Seorang gadis mengenakan a-line dress putih, duduk meluruskan kaki di kasur king size. Menyandar pada headboard yang diganjal dua bantal. Melihat layar ponsel, tertera pukul 16.10 WIB. Clara menggigit kuku ibu jari, memikirkan apakah Arsya akan datang.

Sementara Arsya tengah mengisap rokok di taman rumah, rambutnya masih lembab karena baru saja ia mandi. Matanya nyalang memandang beberapa bunga mawar merah mekar, ia memikirkan Clara yang sedang menunggu.

Berdiri di tempat sampai menghabiskan empat batang tembakau. Akhirnya Arsya memutuskan untuk menemuinya. Berpamit kepada sang istri, mengatakan bahwa ia bermain futsal bersama teman-temannya.

Sesampainya, Arsya mengetuk pintu. Clara menghempaskan napas lega sekaligus sumringah. Lompat dari ranjang dan langsung berlari membuka pintu. Keduanya mematung beberapa detik, saling tatap dengan mata berbinar-binar.

Arsya melangkah masuk dan menutup pintu. Langsung saja mereka mendekap satu sama lain.

Pelukan ini, gue selalu ngerasa nyaman, gue selalu mimpiin kalau gue bisa dapet pelukan ini tiap hari, batin Clara. Semakin erat mendekap laki-laki yang dicintai. Begitu bahagia hingga air mata membasahi kedua pipinya.

Mereka kembali bertatap, menggenggam tangan satu sama lain bersamaan napas memburu, lalu senyuman merekah di wajah keduanya.

"Gue bener-bener kangen banget sama lo," ucap pelan Clara.

"Saya juga, Clara," jawab Arsya, menatap lekat perempuan di hadapannya.

Arsya membelai rambut panjang milik Clara, lalu jari-jarinya mengelus kedua pipi. Belum puas, mereka kembali menyatu dalam pelukan. Clara meremas kuat punggung Arsya seakan tak ingin lepas darinya. Cukup lama berangkulan, keduanya merenggang.

Jemarinya menyentuh lembut bibir merah muda milik Clara, kemudian telunjuk dan ibu jari meraih dagunya. Dimulailah pertemuan bibir mereka.

Sekali bercinta, candu pun tidak bisa tertahan di kemudian hari. Kembali terjerumus dalam hubungan terlarang. Dorongan hati yang begitu kuat, membuat mereka terlena dan melanjutkan perselingkuhan itu.

Arsya selalu menyempatkan waktu untuk menemuinya di hotel yang berbeda setiap kali mereka berpadu kasih.

Keduanya bermain hati-hati, tidak pernah ada gelagat mencurigakan sedikit pun ketika berada di dalam rumah.

Perselingkuhan mereka tetap berjalan. Namun, sampai pada titik di mana pada akhirnya ada seorang wanita paruh baya--Dena yang merupakan teman Lidya, tengah berdiri berbincang bersama dua rekannya di lobi hotel berbintang tiga. Dia melihat pemuda yang masuk mengenakan jaket bomber hitam, topi, dan kacamata, turun dari taksi. Kening Dena mengerut, fokus memperhatikannya.

Loh, itu kayak suaminya bu Lidya, bener enggak, sih? Dena Mengerjap berkali-kali, lalu melihat laki-laki itu berjalan masuk ke lift.

Dena menjauh dari rekan-rekan dan mengeluarkan ponsel untuk menelpon temannya.

Di sana, Lidya sedang menatap layar laptop, pandangannya beralih ke layar ponsel. Mengernyitkan sebelah alis melihat nama Dena, tak biasanya dia menelpon.

"Ya, Bu Dena?"

"Bu, aku tadi perasaan kayak lihat suami Bu Lidya masuk ke hotel Amaranzi, deh. Bukannya suudzon Bu, suami Bu Lidya itu kan masih muda, ganteng--aduh, Bu Lidya ... suami aku aja yang udah tua, gendut, ketahuan selingkuh sama yang lebih muda, apa lagi suami Bu Lidya yang masih seger buger gitu. Cepetan deh, Bu, selidiki itu yang aku liat, beneran suami Bu Lidya atau bukan, soalnya aku lihatnya dari jauh dan enggak begitu jelas," ujar Dena tanpa basa-basi dan langsung memprovokasi.

Kami yang BerdosaNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ