52. Sendiri

95 26 10
                                    

"Pengkhianat!"

Niko membanting gelas yang berada di meja. Mata memerah, mengingat semua perkataan Clara sebelum meninggalkan dan memutuskan hubungan. Saat di depan Clara, ia berakting menerima kemauannya, tetapi yang sebenarnya, tentu saja ia tidak terima.

"Cewek brengsek! Gue udah bela-belain berusaha jadi baik demi dia, tapi apa yang dia lakuin ke gue, ngekhianatin gue kayak gini. Anjing, bangsat! Berani-beraninya ngadalin gue." Niko mendengkus, mengusap ujung hidung dengan ibu jari.

Ia memasuki kamar. Sebuah foto Clara dari perut hingga rambut panjang, berukuran 10R di dinding terpampang tanpa figura. Niko membuka laci, mengambil pisau lipat. Ia menatap penuh dendam pada foto cantik Clara, kemudian menancapkan pisau di wajah gambar tersebut.

"Lo gak bakal lepas dari gue, Ra. Gak bakal. Lo kira gue main-main ma omongan gue? Lo liat aja, akan ada surprise yang bakal lo terima. Inget, Ra, gue gak bakal biarin lo jatuh ke cowok lain. Dan lo harus dapet balasan atas ketololan lo yang berani sama gue."

Niko bersedekap, tersenyum miring. "Gue bakal ngancurin hidup lo." Ia mengembuskan napas panjang penuh kekesalan, berjalan untuk bercermin, memandang diri penuh percaya. "Gue kan ganteng, gue bisa dapet cewek mana pun yang gue mau. Dasar, Clara tolol!"

Sementara Clara tengah terbengong di salon. Gue rasanya seneng udah bebas dari Niko, tapi kenapa gue ngerasa kalo gue tetep terancam, apalgi Niko kan emang sinting.

Pukul 20.00, Clara pulang ke rumah. Sejenak beristirahat dan menonton televisi. Dia berjalan ke kamar, menungging dan menarik kotak kayu yang berada di kolong ranjang. Dibukanya kotak berukuran 30x50 cm.

"Udah saatnya gue bakar barang-barang ini, selamat tinggal masa lalu, selamat datang masa depan gue. Sekarang gue pengen sendiri dulu, kalau udah siap, gue bakal berusaha buat ngebuka hati buat cowok lain. Semoga suatu hari nanti bisa dapet cowok yang nerima gue apa adanya, bisa ngelindungi gue yang udah nggak suci lagi. Meskipun duda, gue juga bakal terima kalau itu orang baik," ucap Clara yang terus menatap kotak itu.

Dia membawa kotak tersebut ke halaman belakang. Mengambil korek dan botol berisi bensin. Membuka kotak, menatapi semua kenangan dari Arsya. Atensi teralihkan ketika mendengar suara ketukan pintu. Clara mengernyit, kembali menutup kotak, dibawa lagi ke kamar, kemudian berjalan membuka pintu.

"Raisa, Nita!" Clara memandangi dua sahabat yang berpakaian anggun.

"Ra!" seru Raisa dan Nita bersamaan, memeluk Clara.

"Kalian cantik banget," ujar Clara mencicit.

"Kita kangen tahu, lo nggak pernah ngumpul bareng kita. Tadi abis kondangan ke Yuni, sekalian lah mampir kan deket banget ma rumah lo." Raisa tersenyum lebar, mencubit halus kedua pipi Clara.

"Kenapa kalian nggak pernah mampir  ke salon gue kalo mau main. Oh, ya sini masuk duduk dulu," ajak Clara mempersilakan.

Nita duduk, bola mata berputar memperhatikan ruang bercat putih, terdapat televisi 42 inch. "Iya deh, kapan-kapan gue ke salon kalo mau potong rambut. Nggak tahu gue mau potong rambut kapan, soalnya sayang udah panjang segini." Dia mengelus rambut sendiri yang sudah sepanjang pusar.

Raisa cengengesan. "Sama, Ra, gue juga belum mau potong rambut.

Clara mengempaskan napas. "Ya creambath aja kalau gitu. Gue kasih diskon."

"Iya deh, kapan-kapan, Ra. Oh ya, Ra. Nih kita bawain martabak Mang Ipang yang tuna, lo dulu kan suka." Raisa menaruh kotak martabak di meja dengan senyuman penuh harap Clara akan menyukai.

"Ya ampun, makasih banget, masih inget aja. Pantesan tadi gue ngirup aroma-aroma martabak." Clara menatap kotak martabak, berjalan ke dapur untuk mengambil gelas dan botol minuman dingin. "Kita makan bareng, yuk!"

Kami yang BerdosaWhere stories live. Discover now