5. Bukan Minyak dan Air

118 32 13
                                    


"Selamat malam, Bu. Terima kasih, semoga kita bisa berjumpa kembali," ucap Arsya begitu ramah kepada tamu hotel yang mengembalikan kartu akses.

Dari kejauhan, Lidya sudah berdiri sedari tadi menunggu Arsya selesai melayani tamu hotel. Si wanita berjalan menghampirinya.

"Arsya!"

Si pemilik nama yang tengah sibuk mengetik pada keyboard, menghentikan aktivitas, mendongak. "Ya, Bu?"

"Ikut saya." Lidya memberikan senyuman dan menunjuk komputer dengan lirikan mata, kode agar karyawan di sebelahnya menggantikan Arsya.

Lidya mengajaknya berbicara di restoran hotel. Keduanya duduk berhadapan di antara meja bundar, terdapat dua puding dan dua gelas es teh lemon.

"Saya kan sudah bilang berkali-kali, kamu pindah ke kamar yang saya siapkan untuk kamu," kata Lidya setelah hampir menghabiskan satu porsi puding.

Arsya mengelap di sekitar mulut dengan tissue. Piring kecilnya sudah bersih. Ia merapikan posisi duduk, lalu menggumam.

Lidya bisa melihat keraguan pada wajah pemuda itu. "Kenapa?"

"Saya tidak pantas tidur di kamar itu. Terlalu bagus, Bu," tolak Arsya dengan senyuman ramah.

"Loh, saya sudah bilang berkali-kali jangan memikirkan itu. Kamu pindah ke kamar itu, ya?" pinta Lidya meyakinkan. Ia mengaduk gelas dengan sedotan, kemudian menyesep es teh lemon.

"Bu, saya sudah nyaman sama kamar saya. Kenangan saya sama Ibu juga." Arsya menunduk.

Kedua tangan menyatu untuk menyangga dagu. "Saya tahu. Tapi itu pasti juga karena Kevin sama Clara," ujar si wanita menebak penuh keyakinan. Bibirnya melengkung ke bawah tanda meledek.

Arsya tersenyum tipis dan menggeleng samar. Ia bersandar dan menepuk kedua paha.

Lidya menghempaskan napas melalui  mulut, merosotkan bahu. "Saya sudah bilang berkali-kali, jangan anggepin mereka. Pokoknya malam ini kamu pindah, ya!" Melihat Arsya hanya membatu, Lidya memohon. "Arsya?"

Arsya menegakkan posisi duduk, mengangguk. "Baik, Bu." Rasanya tidak enak untuk menolak, ia terpaksa mengiyakan.

Saat mereka pulang, Arsya berpindah ke kamar baru. Ia menengadah, menatap atap langit yang berbeda dengan kamar sebelumnya. Ukurannya juga lebih luas, matras yang lebih empuk dan nyaman. Setelah memberesakan barang-barang, ponselnya bergetar, sebuah pesan masuk dari sang kekasih.

Pacar
Besok gue mau ketemu sama lo, di tempat biasa. Nggak ada alasan kalau lo nggak bisa.

Anda
Oke, Sayang. Aku bisa.

Tibalah sore itu, Arsya berjalan bergandeng tangan bersama kekasih, Citra, di sebuah taman kota, keduanya berdiri berhadapan. Arsya mengernyitkan kening karena wajah gadis berkulit sawo matang itu terlihat serius. Si gadis mengambil napas panjang dan menatap wajahnya.

"Arsya, gue mau kita temenan aja, ya?" Gadis berpakaian feminin ini agak mengerutkan bibir, tangannya menyibakkan rambut keriting panjang sebahu.

Arsya mengerjap dan membuka mulut beberapa detik sebelum berbicara. "Kenapa, Sayang? Kamu udah nggak sayang lagi sama aku?" Ia menggenggam kedua tangan Citra.

"Gue ngerasa kita udah nggak cocok lagi, Ar. Lo terlalu sibuk dan nggak pernah merhatiin gue." Citra menoleh menghindar kontak mata darinya.

Arsya menyelidik wajah Citra. "Kok ngomongnya gitu, aku selalu perhatian sama kamu. Jangan putus, ya? Aku sibuk, Sayang, aku kan kerja juga." Ia memohon dan mengeratkan genggaman tangan Citra.

Kami yang BerdosaWo Geschichten leben. Entdecke jetzt