32. Winda dan Lidya

105 26 24
                                    


Dua puluh dua tahun yang lalu, seorang gadis asal desa, berkulit sawo matang, rambutnya dikuncir kuda. Kedua tangannya menjinjing tas besar dan kardus bekas mie instan.

Terik matahari menyinari wajahnya yang semakin basah oleh keringat. Gadis 19 tahun ini terus-menerus menoleh ke kanan dan kiri. Terus melangkah pelan di keramain kota.

Perempuan tersebut––Winda seketika tersenyum penuh harap saat melihat sebuah pagar besar yang bertuliskan 'Dibutuhkan Housekeeping Segera'. Dia berbicara dengan security dan diizinkan masuk. Si gadis berwajah manis––diantarkan ke ruang yang tersedia.

Namun, pihak sana sudah menemukan cukup karyawan. Raut wajah kecewa dan sedih tidak bisa Winda sembunyikan. Dia duduk di teras gedung, orang-orang berpakain rapi yang melihat, hanya melewatinya.

Seorang satpam menghampiri. "Maaf Bu, dilarang duduk di sini."

"Sebentar, Pak. Tolong, saya capek, lemas," ucap pelan Winda, menunjukkan wajah lesunya dan berhadap akan dikasihani.

Dari kejauhan, seorang wanita mengenakan rok dan blazer hitam––tengah berjalan, seketika mendekati mereka.

"Ada apa, Pak?"

"Ini, Bu, dia duduk di sini, kan tidak boleh," kata si satpam sambil menunjuk barang-barang Winda yang tergeletak di lantai.

Perempuan cantik berkarisma itu memperhatikan wajah Winda, tanpa polesan make up, pucat. "Biarin, Pak. Bapak boleh tinggalin kami," katanya.

"Baik, Bu."

"Ya ampun, Mbak kelihatan capek sekali." Hatinya tidak tega melihat seorang gadis yang terlihat lugu duduk lunglai tak berdaya.

"Ndak pa-pa, Bu." Winda beranjak pelan.

"Mbak, habis melamar kerja?"

"Iya, Bu. Tapi sayangnya, sudah penuh." Winda merosotkan bahu.

"Mbak sekarang mau ke mana? Nenteng tas gede begini, berat."

"Keliling, Bu, cari pekerjaan."

Sebagai sesama perempuan, Lidya tak tega. Memikirkan dari mana asal dan bagaimana ke depannya nasib gadis tersebut. "Kita duduk, mengobrol, yuk."

Lidya mengajak Winda ke restauran hotel, menawarkan untuk memesan apa saja yang dia mau. Memahami bahwa Winda kehausan, diambilkannya air putih. Winda tersenyum mengangguk sebagai ucapan terima kasih. Suara tegukan demi tegukan yang melepaskan dahaga terdengar jelas.

Pelayan memberikan pesanan makanan. Sesendok demi sesendok masuk ke dalam mulut dengan cepat. Lidya tersenyum melihatnya yang menikmati makan siang. Setelah Winda selesai makan, Lidya kembali mengajaknya berbicara.

"Jadi, bagaimana Mbak bisa sampai di sini?"

"Saya dari Wonogiri, saya hanya punya Bapak, dan Bapak meninggal. Saya berusaha mencari pekerjaan, ada seseorang yang nawarin saya pekerjaan, dan orang itu bilang ke saya bisa langsung kerja di Jakarta dengan gaji 150.000 rupiah." Pada tahun itu, jumlah uang tersebut cukuplah besar untuk seorang seperti Winda yang biasa tinggal di desa.

Winda melanjutkan, "Dengan syarat, saya harus membayar 200.000. Saya jual barang yang saya punya untuk membayar dan untuk persiapan sebulan saya makan dan tempat tinggal sebelum saya mendapatkan gaji pertama saya." Gadis ini menyatukan kedua tangan, saling meremas.

"Tapi malah saat saya datang ke alamat itu, ndak ada yang membutuhkan karyawan. Saya ditipu, dan saya lontang-lantung selama sudah enam hari ini. Saya terus mencari kerja di mana-mana tapi ndak ada, dan apesnya, saya dicopet, ndak ada uang sama sekali, sampai laper haus ndak bisa beli apa-apa," lanjutnya. Mata Winda berkaca-kaca, mengingat semua kejadian itu.

Kami yang BerdosaWhere stories live. Discover now