39. Kerumitan

84 18 17
                                    

Minggu demi minggu berlalu. Kini, seorang gadis berambut lusuh, wajah kumal, mata berkantung gelap, duduk bersimpuh di lantai. Bayangan hari-hari sebelumnya terlintas.

Clara ditarik paksa oleh Niko untuk masuk ke kamar. Sang pemilik kamar tersebut hanya mengenakan celana boxer, membuka pakaian Clara secara kasar dan mendorongnya hingga terpental ke kasur. Niko mengimpit tubuh Clara, kedua tangannya digenggam, lalu diikat dengan tali prusik. Bibir Niko mendekat ke lehernya dan menghirup aroma wangi Clara.

Lamunannya buyar karena suara dentingan ponsel. Hanya dilirik, Clara mengabaikan pesan masuk dari Nita. Clara kembali kembali termenung. Memikirkan dirinya yang menjadi pemuas hasrat Niko, bukan hanya itu, tetapi perlakuan Niko yang begitu kasar.

"Inget, lo berani macem-macem ma gue, gue bakal sebar vidio lo. Gue pastikan, keluarga lo bakal malu semalu-malunya, mending mati aja lo kalau sampe gue sebarin vidio lo." Suara Niko yang terdengar lagi di telinga Clara.

"Selamat tinggal, Clara, kamu yang terindah dalam hidup saya, tapi kamu itu dosa dan kesalahan terbesar saya yang harus saya tinggalkan." Perkataan Arsya kembali terulang di telinga sebelah Clara.

"Gue nggak akan pernah biarin lo lepas dari gue, Ra." Ucapan pelan Niko terngiang di otaknya.

"Kita nggak akan pernah bersatu, bahkan sampai mati pun." Ucapan Arsya menggema di telinga Clara.

Begitulah sahut menyahut yang terdengar di kepala Clara. Gadis ini menutup erat kedua telinga. Ia menggeleng karena suara Arsya dan Niko masih saja bergema di kepala.

Berdiri, napas Clara semakin memburu. Dia berjalan pelan ke arah nakas. Kedua tangan mengepal pinggiran nakas kuat-kuat, mata terpejam erat menangis tersengut-sengut.

Di sana, Arsya sedari tadi mengkhawatirkannya karena ia tak melihat Clara sejak pagi tadi. Laki-laki itu memasuki mobil dan menyalakan mesin. Diambilnya telepon genggam hitam, mencari kontak Clara. Tidak ada jawaban darinya, bahkan sudah empat kali menelpon.

Arsya mengusap kasar rambut hitam legamnya. Khawatir, ia berpikir bahwa akhir-akhir ini Clara terlihat tidak stabil. Setelah mengetahui dari GPS bahwa Clara berada di rumah, secepatnya Arsya berusaha untuk sampai di sana.

Arsya membanting pintu mobil, berlari memasuki rumah dan menaiki tangga menuju lantai dua. Ia mengetuk pintu kamar.

"Clara, Clara," panggilnya dengan napas tersengal-sengal.

Arsya tetap mengetuk pintu, cemas dan firasatnya semakin buruk. Ia melihat Rita lewat membawa alat pembersih lantai. "Bi Rita, tolong ambilkan linggis. Clara dari tadi nggak jawab."

Sapu dan pengki terjatuh dari kedua tangan seiring dengan bola mata Rita yang membesar. "Iya-iya." Mengangguk cepat dan buru-buru menuruni tangga.

Arsya mundur menjauh, kemudian berlari mendobrak pintu. Ia lakukan berkali-kali, tetapi hanya meringis kesakitan dan tak berhasil. Hingga Rita datang memberikan linggis. Sekuat tenaga Arsya membobol pintu dengan sepotong besi yang ujungnya pipih tersebut.

"Astagfirullah! Non Clara!" Rita menganga, matanya membulat penuh.

Si gadis tergeletak di dekat ranjang. Tubuhnya meringkuk, rambut panjangnya menutupi seluruh wajah. Cairan merah kental bergenang di lantai, juga masih mengalir dari pergelangan tangan kirinya yang telah tersayat benda tajam.

Arsya menghampiri Clara. "Bi Rita, tolong segera ke mobil saya, kita harus bawa Clara ke rumah sakit sekarang." Ia memberikan kunci mobil kepadanya.

"Ya, Mas." Rita berlari menuju mobil milik Arsya.

Kami yang BerdosaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang