41. Kembali

103 22 14
                                    

Matahari telah berada di sebelah barat, angin berembus membuat seorang balita perempuan yang berada dalam buckle carrier sang ayah––memejamkan mata dan tersenyum senang. Arsya mengelus lembut kepala putrinya. Kedua kaki melangkah santai menuju minimarket.

Sementara di halaman rumah, sebuah mobil sedan hitam mulus terhenti. Senyum manis terulas pada wajah cantik berkulit bersih––setelah turun dari mobil. Hampir setahun gadis tersebut meninggalkan rumah untuk menenangkan diri. Dia kembali karena merindukan keluarga, tempat kelahiran, dan juga suasana hatinya sudah jauh lebih baik.

Mendongak, menoleh ke segala arah dan mengamati halaman rumah. Suara teriakan antusias sang ibu yang menyambut dirinya, membuat si gadis seketika menoleh. Hangat seperti biasa, Lidya mendekapnya erat. Keduanya berjalan ke ruang santai. Clara mendudukkan diri dan langsung menyandar pada sandaran kursi panjang yang empuk. Dia menghempaskan napas lega karena telah sampai dan bisa meluruskan kaki.

Anak dan ibu saling melepaskan kerinduan. Lidya bangkit ke dapur untuk mengambil camilan. Clara mendongak menatap atap langit.

Suara langkah sepatu terdengar di telinganya, Clara menoleh ke sumber suara dan seketika mematung dengan mulut sedikit terbuka. Begitu juga sang pemilik sepatu tersebut yang terperangah melihat Clara menatap dirinya dari sofa sana.

Hening, baik Arsya maupun Clara hanya saling bertatap beberapa detik dari jarak sekitar sepuluh meter. Clara meremas kedua paha. Darah memanas dan napas memburu. Sungguh, Clara ingin lompat dari tempat duduk dan mendekapnya erat. Namun, kenyataan selalu menyadarkan diri, dia hanya bisa menatapnya hingga kedua pipi terasa hangat oleh tetesan air mata.

Beban di dada tidak bisa dilepaskan. Begitu juga Arsya, hanya bisa terus-menerus meneguk ludah.

"Loh kok, pada bengong?"

Suara Lidya dari kejauhan membuat Clara dan Arsya terperanjat. Clara kilat mengeringkan pipi dengan punggung tangan kanan.

Lidya duduk di sebelah Clara, menyodorkan lumpia tahu isi daun kemangi. Pandangannya beralih ke laki-laki yang masih berdiri di tempat.

"Arsya, sini duduk," tuturnya.

Arsya duduk berhadapan dengan Clara di antara meja.

"Nih, enak banget loh, spesial Mama masakin," ucap Lidya mengajak Clara untuk mencicipinya.

"Iya, Ma." Clara menggigit lumpia.

Suara dentingan membuat Lidya memeriksa ponsel yang tergeletak di meja. Clara gunakan kesempatan itu untuk menatap Arsya dan membuat matanya berbinar-binar karena sekarang Clara bisa melihatnya lebih dekat. Sementara yang ditatapnya sedang berbicara dengan Keisha dan sesekali mengecup pipinya. Arsya harus bisa menjaga sikap di hadapan Lidya.

"Clara, kok, bengong?" tanya Lidya terheran. Menaruh kembali ponselnya di meja.

Spontan mata Clara beralih pandangan ke sang ibu dan menjawab, "Ah—Ma—anu, kaget liat Keisha, Keisha lebih gede daripada yang di vidio dan foto, nggak kerasa ya, Ma? Keisha udah gede gini setahun setengah, cepet banget rasanya."

"Ya, memang bayi itu cepet tumbuhnya," tutur Lidya. Menoleh ke arah si bungsu dan tersenyum syukur.

"Gimana kabar kamu?" tanya Arsya pada Clara agar tak terlihat canggung di hadapan Lidya. Jantung berdetak tidak beraturan, sebisanya ia tetap tenang di hadapan mereka.

"Baik, lo?"

"Baik juga."

Tidak banyak bicara dan pikirannya kacau, Arsya berpamit pada Lidya dan Clara, membiarkan mereka berdua melepaskan rindu. Padahal Clara masih ingin melihatnya, dia tersenyum untuk menyembunyikan kekecewaan ini.

Kami yang BerdosaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang