47. Rumit

123 37 43
                                    

Udara di luar mulai terasa panas, bayang-bayang benda berada di bawah dan tampak lebih pendek. Mobil jenis minivan hitam melaju 120km/jam di tol Cikarang. Lidya menyandar dengan selimut tipis, menoleh dan tersenyum saat mendengar celotehan Keisha bersama si babysitter. Dia mengambil ponsel yang berdering di tas kecil, menghempaskan napas malas ketika membaca nama suami di layar telepon genggam. Terpaksa mengangkatnya.

"Bu, Lidya sama Keisha di mana?" Arsya mengkawatirkannya.

"Saya mau ke rumah Tante Sari," jawab Lidya bernada datar.

"Jauh banget. Kenapa Bu Lidya nggak bilang saya, Bu Lidya kan masih istri saya dan Keisha juga anak saya." 

Lidya memutar malas bola mata. "Saya tidak akan bawa kabur Keisha. Kamu tolong urus saja urusan di kantor, dan tolong jangan ganggu saya."

"Tapi saya khawatir sama Bu Lidya, sa—"

"Saya bareng Chacha sama Pak Romi. Nggak usah khawatir," ucap Lidya memotong pembicaraannya. Tidak ingin berlama lagi bicara dengannya, sambungan telepon dimatikan.

Perjalanan membutuhkan sekitar 7 jam. Lidya menggendong Keisha keluar mobil. Pemandangan bukit, kebun sayur dan udara lebih segar dibanding Jakarta, membuat bibir wanita itu tersimpul.

"Lidya!" sapa antusias seorang nenek mengenakan gamis, potongan rambut bob. Berjalan cepat menghampiri Lidya, mengecup gemas pipi Keisha.

Nek Sari mempersilakan semua untuk masuk ke rumah. Segera disuguhkan teh hangat dan camilan. Mereka berbincang-bincang mengenai perjalanan dari Jakarta hingga sampai di desa kaki gunung itu, kemudian beristirahat dan bermalam di rumah sang tante.

Paginya, Lidya dan Nek Sari duduk berhadapan di kursi bambu dengan meja berisi dua cangkir teh, di sebuah gubug kecil di tengah kebun stroberi. Ibu tiga anak tersebut telah menceritakan semua permasalahan kepada sang bibi. Hanya beliaulah satu-satunya orang yang dipercayai. Nek Sari turut prihatin atas apa yang menimpa si keponakan. Sendu dan sesal tak lepas dari wajah si nenek ketika mendengar semua. Sementara mata Lidya sembab dan hidung merah akibat tangis sedari tadi.

"Clara nggak cerita apa-apa. Ya bilangnya cuma katanya ditinggal nikah sama pacarnya." Nek Sari menggeleng-geleng pelan, masih tidak menyangka atas masalah yang Lidya hadapi.

"Saya harus gimana, Tante? Saya mau gugat cerai Arsya, tapi saya mikirin Keisha," Lidya merosotkan bahu, menunduk pilu, "waktu Pak Randi meninggal, saya rasanya kesepian banget karna harus membesarkan Clara dan Kevin tanpa seorang ayah. Saya tidak bisa pungkiri kalau Arsya memang ayah yang baik, dia sayang banget sama Keisha."

"Tante tahu, tapi coba kalau misal kamu fokus ke diri sendiri, kamu akan menceraikan Arsya atau memaafkan dan melanjutkan rumah tanggamu bersamanya?"

Lidya menegakkan dagu, menatap wajah lawan bicara. "Jujur saya sayang banget sama Arsya, saya sangat mencintai Arsya. Sepertinya akan sangat sulit melepasakan dia." Mengalihkan pandangan dan menunduk dalam agar Nek Sari tidak melihat tetesan air mata yang terjatuh.

"Kamu cinta sama Arsya apa karena Arsya mirip sama Novan?" tanya sang bibi menduga-duga.

Lidya memilih tidak menjawab.

"Lidya ...," panggil pelan Nek Sari, "kalau kamu mau menangis lagi, menangislah, jangan disembunyikan," sambungnya karena Lidya tetap bergeming dengan wajah gemetar.

Nek Sari beranjak, berpindah duduk di sebelah, menyaksikan butiran-butiran cairan bening terus berjatuhan. Memahami perasaan yang tengah hancur dan dilema, Nek Sari memeluknya. Sekian menit, Lidya melepaskan diri dari rangkulan sang tante, kemudian kedua tangan bergerak cepat mengeringkan pipi dan cairan kental dari hidung.

Kami yang BerdosaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang