33. Arsya dan Clara

182 25 20
                                    

Rita dan Sari tengah menyiapkan makan malam. Terdapat ayam goreng, sayur kol, dan sambal tomat. Saat Rita menaruh toples berisi kerupuk, Lidya berbicara padanya.

"Sudah tiga hari Winda sakit, Bi. Tolong bawa ke dokter diantar sama Pak Tono."

Rita dan Sari––yang bersebelahan, menoleh bersamaan dan langsung bertatap. Bingung, kemudian saling senggol sikut.

Melihat keduanya demikian, kening Lidya mengernyit curiga.

Setelah makan selesai, ibu muda cantik itu menemui Winda di kamarnya––ditemani Rita dan Sari. Winda terperanjat dan segera duduk.

"Bu Lidya ...." Bibir pucat Winda tersenyum.

Lidya mendesaknya agar Winda berbicara jujur.

Si perempuan manis akhirnya menceritakan bahwa dia kini berbadan dua. Mulut Lidya yang menganga––masih tertutup kedua telapak tangan.

"Siapa yang melakukan itu, Winda?" Tangannya kembali menutup mulut, menggeleng masih tak percaya.

"Saya ndak tahu, Bu. Waktu itu dua bulan lebih yang lalu, malam-malam saya keluar untuk pergi ke minimarket dan waktu pulang seseorang saya tidak kenal ...." Winda melirik Rita sekilas. Lututnya ditekuk dan dirangkul erat.

Lidya memeluknya. "Kamu harus kuat, ya? Saya paham dengan apa yang kamu rasakan."

"Saya ingin menggugurkan anak ini, Bu."

"Astafirullah. Winda, istighfar," tegur Sari.

"Nyebut, Neng," Rita, mengelus-elus punggung Winda.

Lidya menggeleng cepat, tak percaya. "Winda, setahu saya, kamu ini gadis baik, kamu tidak akan pernah melakukan hal semacam itu, bukan? Itu sama saja pembunuhan."

Winda kembali melirik Rita. "Tapi, Bu, bagaimana saya bisa, dan saya harus membesarkan anak ini sendiri, dan saya di sini bekerja dan saya ... bagaimana saya ... saya tidak mau melahirkan anak haram, Bu." Winda meringik khawatir.

Lidya kembali memeluknya. "Ust, ust, sudah, tidak boleh bilang begitu, calon anak kamu ini suci, semua bayi itu terlahir suci. Kami semua akan bantu kamu, kamu jangan khawatir, kamu tetap tinggal di sini. Saya juga akan bantu kamu." Dia berusaha menenangkannya.

Winda terisak. "Saya tidak tahu apa yang harus saya balas untuk kebaikan Bu Lidya."

"Kamu jangan pernah memikirkan itu, ya? Ingat, anak itu titipan, kita harus selalu menjaganya. Anak ini tidak berdosa, dia tidak tahu apa-apa, dia tidak bersalah." Lidya terus memeluk Winda.

Calon ibu ini menyadari bahwa apa yang dikatakan Lidya itu benar. Dia memiliki sedikit semangat dan harapan untuk terus membesarkan calon anaknya dengan dukungan orang-orang di sekitar yang selalu mendukungnya.

Bulan demi bulan perut Winda semakin besar, dia pun menyayangi bayi yang belum terlahir. Sering mengajaknya bicara dan mengelus-elus perutnya. Dia juga rajin untuk memeriksakan kandungannya yang selalu ditemani Lidya.

Melihat semua perlakuan Lidya padanya, membuat Eni semakin dengki.

"Heh! Dasar, lu itu perempuan murahan! Hamil anak haram aja bangga!" kata Eni ketus.

Tidak ada respons, Eni kembali menggunjing. "Lu itu pembantu baru di sini, tapi selalu aja cari perhatian sama Bu Lidya."

Winda masih hanya diam, tidak melayani, dan memilih meninggalkan Eni.

Genap sembilan bulan kehamilan Winda, tibalah hari persalinan. Ibu muda itu tersenyum melihat bayi laki-laki yang telah dilahirkan dengan normal. Lidya memasuki ruangan, tersenyum melihat bayi laki-laki mungil.

"Kamu kasih nama siapa?" tanya Lidya.

"Eh, ndak tahu, Bu," jawab Winda bingung.

Lidya terkekeh dan bercanda. "Loh, kamu ini gimana, saya kira sudah memikirkan nama buat anak kamu ini."

Winda tertawa pelan. "Saya bingung, Bu."

"Bagaimana kalau kita kasih nama Arsya Mahardika. Arsya itu artinya pemilik singgasana, Mahardika itu artinya berbudi luhur. Jadi, artinya pemilik singgasana yang berbudi luhur. Saya punya banyak nama waktu mau kasih nama Kevin. Nah, kalau kamu nggak suka Arsya, saya masih punya banyak nama."

"Oh ...." Winda mengangguk-angguk. "Sudah bagus, Bu, tapi apa itu ndak kebagusan? Anak di luar nikah, ndak pantes dapet nama bagus seperti itu, Bu," lanjutnya, merasa tidak percaya diri.

"Nama itu juga doa, kita berharap dia akan tumbuh seperti namanya. Ingat, semua anak berhak mendapatkan nama yang baik, tidak peduli siapa mereka atau tahta. Oh, ya, kamu berhenti memikirkan hal-hal itu. Kamu lihat, anak ini bersih, suci, dia tidak salah apa-apa."

Keduanya menatap bayi laki-laki yang telah diberi nama itu.

"Iya, Bu, aamiin." Winda mengangguk, tersenyum dan menyetujui.

Di tengah serunya percakapan, Lidya tiba-tiba menutup mulut dan mual-mual.

Winda khawatir. "Bu, Bu Lidya kenapa?"

Lidya lari ke toilet dan mengeluarkan isi perut, kemudian kembali dan duduk lemas.

"Jangan-jangan Bu Lidya hamil?" tanya Winda dengan senyuman.

Lidya menegakkan dagu, terulas senyum di wajahnya yang agak pucat. "Sebenarnya saya sudah telat sih, tiga minggu."

Winda turut bahagia. "Wah, selamat, ya, Bu."

Tujuh bulan kemudian, Lidya berada di ranjang rumah sakit. Duduk, tersenyum, dan terus memandangi bayi perempuan mungil. Randi di sampingnya juga tersenyum bahagia

"Saya benar-benar senang, untung anak-anak kita kayak kamu, Lidya, cantik. Kevin juga ganteng. Enggak kayak saya ini yang nggak ganteng," canda Randi sambil mengelus kepala istrinya.

"Pak Randi ... Pak Randi ini hatinya tulus. Dulu saya kira, Pak Randi ini hanyalah seorang om-om nakal, tapi ternyata, Pak Randi itu sangat baik. Itulah yang membuat saya selalu sayang sama Pak Randi. Bagi saya, Pak Randi itu ganteng," canda balik Lidya diakhiri tawa hangat.

"Ah, kamu bisa aja." Randi tertawa terbahak-bahak, tersanjung atas pujian sang istri.

"Clara Naura Hardian," ucap Lidya, mengelus pipi bayi perempuannya.

Pasangan suami istri itu tak lepas dari senyuman. Kehadiran anak kedua, membuat mereka benar-benar lengkap memiliki buah hati laki-laki dan perempuan.

Hidup rukun, Lidya selalu menghormati dan melayani suaminya dengan baik.

Winda pun bahagia atas kehadiran Arsya, meski tak menyangka bahwa dia akan menjadi seorang ibu, tetapi Winda benar-benar menyayangi anaknya.

Dua tahun setelah kelahiran Clara, saat Lidya sedang sibuk bekerja, dia mendapatkan telepon yang tidak terduga.

"Ya?"  Lidya mendengarkan telepon, kemudian menganga dan napasnya tercekat. Bibirnya bergetar hebat, disusul air mata berjatuhan.

Kabar duka suaminya telah tiada karena serangan jantung. Lidya menangisi makam Randi, sesal yang teramat tergambar jelas pada wajahnya. Bersimpuh dan memeluk papan nama.

Winda tak tega melihatnya. "Bu, yang sabar ya, Bu. Sekarang sudah mau malam, kita pulang, Bu."

"Win, anak-anak masih kecil, tapi Pak Randi malah meninggalkan kami."

"Saya tahu, Bu, rasanya ditinggalkan sama orang yang kita sayangi, tapi ini takdir dari Yang Maha Kuasa," kata Winda yang turut berderai air mata, mengingat saat ditinggal sang ayah.

Perlahan bangkit, Lidya berjalan beberapa langkah mendekati makam sang mertua. Berjongkok dan mengelus nisan.

"Bu, maafin aku, Bu."

Lidya kini memandang bingkai foto Randi pada genggaman kedua tangan, mengingat masa lalu bersamanya.

"Maafin aku, Pak Randi. Semoga Pak di sana bahagia bersama Bu Diah."

Lidya meletakkan kembali foto Randi di nakas. Berjalan ke sebrang ranjang di mana Arsya biasa berbaring. Terdapat foto Winda bersama Arsya––saat berusia 10 tahun.

"Winda, semoga kamu juga selalu bahagia di sana."

Kami yang BerdosaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang