6. Kedekatan

122 32 17
                                    

Sinar matahari telah meredup, tak sepanas siang tadi. Arsya keluar dari toilet, berjalan kembali ke lobi hotel untuk nelanjutkan kerja. Namun, langkah terhenti saat seorang wanita mengenakan celana panjang abu-abu dan jas hitam berkemeja putih, bersuara lembut memanggil namanya dari belakang. Ia memutar tumit ke belakang, memberikan senyuman ramah dan anggukan samar pertanda hormat.

"Bu Lidya," sapa balik Arsya.

"Kita pulang bareng, ya? Pak Romi tidak enak badan. Jadi, saya tadi nyetir sendiri."

"Am Bu, tapi saya kan baru sejam ini. Bu Lidya harus nunggu tiga jam lagi, kelamaan." Arsya mengelus tengkuk dan cengar-cengir, merasa tidak enak hati.

Lidya tersenyum paham. "Sudah, tidak apa-apa. Pulang sekarang saja."

"Nggak enak sama yang lain, Bu. Saya tidak mau makan gaji buta." Arsya kembali menyengir.

Melihat kepolosan Arsya, Lidya tertawa bersamaan gelengan. "Kamu ini. Ya mereka kan tahu kalau kamu itu kerja freelance. Lagian, resepsionis sudah cukup, kamu nggak ada pun nggak kekurangan." Lidya sedikit menaikkan alis, meyakinkan.

Arsya tertawa kaku. "Iya, Bu." Ia mengangguk menurut. "Saya siap-siap, dulu."

Lidya memberikan anggukan lembut, menunggunya di belakang gedung. Hanya beberapa menit, Arsya menghampiri. Mereka berjalan menuju tempat parkir. Si pemuda membukakan pintu belakang.

"Saya mau duduk di depan saja." Lidya membuka pintu mobil sebelah pengemudi.

"Oh, iya, Bu."

"Kita ke coffee shop dulu, mampir."

Arsya menyetujui ajakan sang bos. Ia melajukan mobil menuju mall. Sesampainya, keduanya duduk di kursi bermeja kecil bundar. Arsya memesankan moccacino untuknya, sedangkan kopi latte untuk sendiri. Sembari menunggu, keduanya berbincang-bincang.

"Sudah lama saya tidak ngopi kayak gini. Anak-anak sibuk dengan dunia mereka sendiri, capek." Wanita itu menghempaskan napas keluh, memegang tengkuk, kepala berputar pelan.

Pelayan datang, menyodorkan kopi ke Arsya dan Lidya. Keduanya tersenyum kepada karyawan itu. Arsya tidak tahu harus merespons apa atas keluhan Lidya, ia hanya tersenyum simpul.

"Saya belum mempercayai orang, makanya saya melakukan pekerjaan ini sendiri. Kevin, boro-boro, apalagi dia sekarang katanya salon mobilnya lagi ramai tiap hari." Lidya menuangkan gula ke dalam cangkir dan mengaduk-aduk dengan sendok kecil.

"Mungkin Clara, nanti kalau sudah siap, Bu," kata Arsya memberikan harapan.

"Ya, mudah-mudahan saja."

Arsya menyeruput kopi, lalu kembali meletakkan cangkir di meja. Lidya tersenyum melihat busa di sekitar mulut si pemuda. Wanita itu mengelap busa kopi perlahan dengan tissue.

Arsya tersenyum tersipu. Mereka melanjutkan mengobrol bersama hingga malam, kemudian meninggalkan tempat itu, berjalan menuju mobil. Arsya dan Lidya memasang sabuk pengaman.

Arsya pelan melirik sang wanita. Jakunnya bergerak naik-turun. Saat pemilik rambut panjang hitam legam itu menoleh, Arsya seketika menyalakan mesin mobil. Malam hangat yang menyenangkan untuk keduanya.

Sabtu pagi hari tiba, Arsya melakukan kegemaran menyirami tanaman. Lidya menatap punggung lelaki itu dari belakang, mendekat mengajak mengobrol. Mereka tersenyum dan tertawa menceritakan tentang macam-macam tamu hotel yang Arsya temui.

Sore harinya, Lidya mengajaknya untuk pergi ke pusat perbelanjaan.

Lidya memasuki mobil, mengenakan blus tipis lengan pendek, berwarna abu-abu dan celana jeans ketat. Arsya memperhatikanya terkagum dengan keawetan muda sang bos. Tubuh terlihat padat, kencang, tak ada garis halus di wajah, kulitnya bersih mulus, dan seputih mutiara.

Kami yang BerdosaTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon