16. Permintaan Maaf Palsu

75 18 17
                                    

Clara terpikir bahwa dia harus mendapatkan kembali barang-barang yang dirindukan. Harus melakukan apa yang sang kakak katakan. Setelah Arsya, Lidya, Clara dan Kevin selesai makan malam, Clara membuka pembicaraan.

"Ar-sya."

Semua mata tertuju pada Clara yang telah menyebut namanya. Clara memajukan dan memainkan bibir. Sungguh, enggan sekali mengatakan hal seperti ini meskipun hanya pura-pura. Menelan liur, merasa harga dirinya kini telah jatuh.

"Gue mau minta maaf, karena gue udah nyakitin hati lo dan ngehina mama lo." Clara terus memainkan bibir, terpaksa pandangannya tetap fokus pada Arsya.

Lidya tersenyum tipis.

"Ya, saya maafin," kata Arsya terdengar ikhlas.

Kevin menyeringai tipis, beranjak meninggalkan mereka. Lidya manggut-manggut samar, sedikit senang melihat Clara yang sudah berani meminta maaf. Dia juga beranjak.

Ketika Clara juga hendak bangkit  Arsya memanggilnya. Clara menaikkan sebalah alis tanya syarat mengapa dipanggil. Kembali duduk.

"Empat hari yang lalu, saya lihat cowok kamu lagi sama perempuan lain. Mereka kelihatan mesra, ya ... saya tidak tahu itu siapa, tapi saya nggak mau berperasangka buruk juga. Mungkin saudaranya yang begitu dekat dengannya makanya kelihatan deket banget. Cuma saya saranin, kalau memang cewek itu selingkuhanya, berati pacarmu itu bukan laki-laki baik, mending tinggalin." Arsya mengangguk, tersenyum simpul, kemudian berdiri melangkah ke kamar.

Clara hanya terdiam, tidak ada kesedihan di wajah. Dia teringat dulu ketika belum lama berpacaran dengannya.

"Sayang, apa bener lo selingkuh sama cewek lain? Temen gue lihat lo sama cewek lain dan mesra-mesraan." Mata Clara berkaca-kaca.

Niko tersenyum tenang. "Sayang, mana mungkin gue selingkuh. Percaya sama gue, gue sayang sama lo dan gue nggak bakal selingkuh, kan gue udah janji sama lo. Lagian, Minggu lalu gue kan sakit dan nggak keluar rumah." Niko mendekat dan memeluk Clara. "Percaya, ya sama gue, Sayang?" Ia membelai rambut Clara.

"Bener, ya?"

"Tentu dong, Sayang."

Clara tersadar dari bayangan, tidak menggubris perkataan Arsya. Lebih memilih merencanakan sesuatu untuk menjahili Arsya di hari besok.

Ketika Arsya masuk ke kamar setelah pulang kerja, Clara menemui Kevin di ruang santai, berbisik untuk merencanakan sesuatu. Kevin menagangguk-angguk tersenyum menyetujui rencama sang adik perempuan.

Ini baru dimulai, kata Clara dalam hati.

Arsya tengah menggosok-gosok rambut yang berbusa, tiba-tiba keran air berhenti menyala. Terus mencobanya, tetapi keran tidak keluar air. Ia menutup mata karena pedih, segera mengenakan handuk.

Aduh gimana, ini? Arsya membatin.

Ia berjalan keluar kamar dengan mata setengah tertutup. Hati-hati menuruni tangga. Clara mengintip dari belakang, cekikikan. Arsya menyebur ke kolam renang dan menggosok-gosok rambut.

Tentu saja itu hanyalah hal kecil yang tidak membuat Clara puas. Dia menjahili lagi ketika Arsya hendak pergi ke kampus. Motornya tidak bisa dinyalakan.

Ia masuk ke rumah untuk mengambil kunci mobil, lalu pergi ke tempat parkir. Saat akan membuka mobil, tangannya tidak bisa lepas dari pintu mobil. Ia mendesah kesal, menelepon dan meminta bantuan Kemal. Dengan memberikan minyak di telapak tangan, Arsya berhasil terlepas dari lem.

Masih tidak puas, sorenya Arsya dibuat kembali menggeleng-geleng dan mengembuskan napas kasar berusaha sabar. Kaca mobil depan terdapat beberapa pecahan telur. Pun paginya lagi, Arsya mengambil sepatu di rak, memakainya, tetapi seketika melepaskannya lagi. Membalikkan telapak kaki, terdapat cokelat pasta di dalam sepatu.

Kami yang BerdosaWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu