55. Selalu di Hati

216 32 25
                                    

18/9/2019

Lidya, Kevin, Laura, Bi Rita, Nita, Raisa, dan Rifki mengelilingi makam Arsya dan Clara. Lidya berjongkok di antara makam Clara dan Arsya, bergantian mengelus kedua nisan.

"Ma, sudah ya, Ma, Mama yang kuat, masih ada Kevin sama Keisha yang bakal selalu berusaha nguatin Mama." Kevin membantu Lidya untuk berdiri.

Mereka melangkah meninggalkan makam. Lidya sesekali menoleh ke belakang. Ucapan selamat tinggal dalam batin begitu berat. Kevin dan Laura tetap menuntun tubuh Lidya yang melemas.

Saat semua sudah tidak terlihat, seorang pria 55 tahun, mendekat dan berjongkok di sebelah makam Arsya. Perlahan mengelus papan nama.

Melihat nama bin yang dituliskan 'Fulan' yang mana ini digunakan jika tidak mengetahui nama sang ayah. Pria itu menggeleng pelan bersamaan deraian air mata.

"Maafin aku, anakku. Aku ini ayah yang biadab, ayah yang nggak pernah ngungkapin kebenaran kalau kamu anakku. Ayahmu ini terlalu takut, ayah yang nggak berguna, Ayah yang nggak pantes disebut ayah." Kemal menunduk dalam, perasaan amat bersalah dan berdosa. Ia tetap kuat menahan suara sesenggukan.

Bibir berguncang hebat. Berpaling tak kuasa melihat nisan yang seharusnya bertuliskan bin Kemal Ariandi. Ia bangkit, berjalan cepat ke ujung kuburan yang terdapat kebun ditumbuhi beberapa pohon cukup besar dan rumput liar setinggi lutut orang dewasa.

Kemal mendudukkan diri di antara semak-semak. Bersandar pada pohon, dua kaki menekuk, tangan kanan meremas dada. Beban di dalam dada pun sudah tidak bisa ditahan, ia tersengut-sengut melepaskan isakan. Mengingat saat bersama Arsya ketika kecil, menghiburnya ketika kehilangan Winda, juga terulas saat ia mengajari Arsya merokok.

"Maafin Bapak ...."

Kemal menggeleng-geleng pelan, masih tidak percaya bahwa sang putra telah tiada. Ia terlalu takut untuk mengungkapkan kebenaran. Hanya Winda dan Kemal sendiri yang mengetahui rahasia ini. Hingga kini, ia tidak sanggup membuka aib sendiri.

Sementara Lidya kini meringkuk di matras, meratapi dua orang yang kini telah tiada.

Bukan ini yang aku inginkan, kenapa kalian harus meninggalkan aku. Selamanya aku akan selalu menyayangi kalian. Clara, selamanya kamu anak Mama, Mama selalu menyayangi kamu, Clara. Melihat kalian terluka di depan mataku sendiri, menghembuskan nafas terakhir di depan mataku sendiri, membuatku merasakan begitu kehilangan dan membuat jantungku kembali remuk. Kalian, dua orang yang selalu akan aku sayangi sampai kapan pun aku akan selalu menyayangi kalian.

"Clara!" teriak Lidya.

Kevin dan Laura memasuki kamar Lidya. Kevin berjongkok, memahami perasaan seorang ibu yang kehilangan.

"Ma, Mama harus kuat," ucap Kevin meraih pundak sang ibu. Matanya nanar tidak tega menyaksikan perasaannya yang hancur.

"Kevin, kamu tahu, gimana sakitnya kehilangan seorang anak yang Mama selalu sayangi? Lebih baik Mama menanggung luka itu daripada Mama harus kehilangan Clara seperti ini. Clara anak Mama sampai kapan pun," ujar pelan Lidya di sela-sela sesenggukan.

"Ma, Mama yang sabar, ya Ma, Mama harus kuat," ucap Laura, turut berjongkok dan prihatin.

"Aku tahu perasaan Mama." Kevin menggeleng pelan, menunduk berduka mengingat kebersaman mereka ketika masih anak-anak.

"Mama ingat gimana Mama gendong Clara waktu dokter ngangkat Clara yang baru lahir. Mama inget tangis Clara, Mama inget, tiap malam Mama dibangunin tangis Clara. Mama inget hari-hari yang kita lalui bersama setelah kepergian Papa, kalian yang selalu jadi penguat Mama." Lidya terisak, belum menerima kepergian sang putri.

"Seburuk apa pun kelakuan anak, meski Mama marah dan kecewa, tapi dari lubuk hati, Mama tetap sayang sama anak-anak Mama."

Gadis kecil berusia 3 tahun, berlari menghampiri mereka. Si babysitter berdiri di ambang pintu. Anak polos yang tidak tahu apa-apa, bertanya kepada sang mama.

"Mama masih nangis? Papa mana, Ma? Esya mau tidur sama Papa." Si gadis kecil berambut panjang sebahu, berdiri di hadapan Lidya.

Lidya menatap pilu Keisha, tidak sanggup mengatakan yang sesungguhnya. Wanita itu menunduk dalam, tidak mau menunjukkan tangis di hadapan Keisha.

Clara dan Arsya, yang pernah melakukan hal yang terlarang, meski tahu jika itu akan menghancurkan diri sendiri dan orang lain, tetapi mereka tetap melakukannya. Ketika mereka memiliki kesempatan untuk meninggalkan hal terlarang itu, mereka malah kembali terjerumus dan menghancurkan semua.

Seharusnya saat mereka sudah diberikan kesempatan, mereka tidak lagi berani untuk kembali melakukan perbuatan terlarang itu. Napsu, terkadang mengesampingkan pikiran yang nantinya akan menjadi sebuah penyesalan, berujung menghancurkan diri sendiri dan orang lain.

Kini, kisah mereka telah berakhir.

SELESAI








Terima kasih yang sudah membaca ceritaa
ini sampai tamat🙏🏻







____

Author juga membenci Lidya, Arsya, dan Clara. Merka semuanya salah, tetapi Arsya dan Clara yang paling salah, sebabnya mereka pantas lenyap.

Kami yang BerdosaTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon