4. Tumbuh Dewasa

127 24 14
                                    

Ia tumbuh hanya dengan didikan dari sang ibu. Tanpa peran ayah hingga ibunya telah tiada. Bertahun-tahun Arsya berjuang untuk melawan kesedihan karena ditinggal orang yang paling ia sayangi, yang dulu selalu bersama dalam suka maupun duka, selalu tidur bersama dan membacakan dongeng. Kini telah melewati banyak hal sejak kepergian Winda, terutama menghadapi dua bersuadara yang tidak pernah puas untuk membuatnya semakin terpuruk.

Perlahan terbiasa dengan perilaku tidak menyenangkan dari mereka. Meski sangat menyebalkan, tetapi hanya kesabaran yang bisa ia lakukan seperti yang diajarkan ibunya. Arsya telah tumbuh dewasa, selalu mengingat pesan ibunya bahwa ia harus berusaha untuk menjadi kuat dan selalu menghormati Lidya.

Laki-laki dengan tinggi 175 cm ini mengenakan celana panjang hitam polos, kemaja panjang abu-abu dan dasi hitam. Sepatu pantofel yang mengkilat hitam menghentakkan langkah menuju dapur. Saat di ambang pintu, seorang wanita dengan tinggi satu setengah meter, menatapnya sinis.

"Bener-bener, ya, kami di sini jadi pembantu bersih-bersih. Lah kamu, pakaian rapi, gajinya lebih gede, disayang majikan," ujar Eni ketus, tangannya bersedekap dan bibirnya mencebik.

Arsya hanya menarik napas dalam dan menghempaskan perlahan. Sudah terbiasa menghadapi Eni sejak ia bisa mengingat. Seperti sang ibu yang selalu tak menggubris Eni, ia melangkah meninggalkan Eni.

Eni mengejar dan berdiri di hadapannya. "Emang ya, anak sama ibu, sama-sama caper terus. Apalagi Winda yang murahan itu yang sa-"

Arsya memotong pembicaraan Eni, "Cukup Mbak, selama ini saya tidak pernah pedulikan Mbak Eni menghina saya. Tapi saya tidak terima Mbak nyebut ibu saya!" Laki-laki 19 tahun itu tegas menegur Eni. "Dan saya tahu, selama ini Mbak selalu ngopor-ngoporin Clara dan Kak Kevin buat benci saya dan terus menghasut mereka."

Langkah Lidya membuat Eni membulatkan mata dan mulut menganga. Semakin dekat di hadapannya. Lidya menatap tajam Eni. Bibir merapat sejenak sebelum benar-benar percaya atas apa yang dikatakan Arsya.

"Jadi, kamu itu racun buat anak-anak saya!" Bibir Lidya bergetar dan mata memerah. "Silahkan kamu pergi dari rumah saya, sekarang juga!"

Tak bisa berkutip, Eni meninggalkan rumah sang majikan. Meski Kevin  dan Clara melarang, tetapi keputusan Lidya tak ada yang bisa melawan.

Beberapa hari kemudian, di Minggu pagi, Arsya mengenakan celana santai panjang dan kaus hitam polos. Ia asyik menyirami tanaman-tanaman di taman kebun rumah yang luasnya 20 x 30 meter. Melihat bunga-bunga yang berwarna-warni, selalu membuatnya nyaman dan tersenyum.

Dari belakang, Lidya tersenyum memperhatikan Arsya. Bangga melihatnya yang telah tumbuh dewasa. Wanita ini berjalan menghampiri hinga berdiri bersebelahan.

"Arsya, kamu tuh dari tadi sibuk terus, kapan istirahatnya? Ini kan hari Minggu. Kamu tidak perlu kerja terus seperti ini. Lagian, kamu kan tidak perlu kerja di rumah."

"Saya senang kok, Bu, ngelakuin ini semua, kan sudah terbiasa, Bu. Lagian, mau main apa, yang penting tugas kuliah dan belajar beres," jawab Arsya. Ia menoleh ke samping dan memberikan senyuman.

"Kamu ini, anak muda biasanya nongkrong gitu sama teman-temannya," tukas Lidya dengan candaan.

"Saya tidak punya banyak teman, Bu. Saya juga lebih suka di rumah." Arsya memutar pengaturan air selang menjadi lebih jauh menyembur.

"Kamu ini tumbuh persis seperti ibumu. Baik, sopan, saya benar-benar salut sama kamu," tutur Lidya memeuji. Atensi beralih ke pancuran air dari selang yang menyirami tanaman.

Arsya tersenyum dan mengingat sosok Ibu.

"Di jaman sekarang ini, jarang banget ada anak seperti kamu, kamu itu langka. Saya selalu kagum sama kamu. Beda sama anak-anak saya, mereka terlalu manja dan susah diatur. Saya selalu berdoa dan berharap, mereka bisa berubah menjadi pribadi lebih baik." Lidya tersenyum, melangkah ke samping, menghirup bunga dahlia yang mekar.

Kami yang BerdosaWhere stories live. Discover now