23. Apakah Cemburu?

100 18 19
                                    

Suara sang Mama dan Arsya, membuat Clara bangkit dari ranjang. Berdiri di depan jendela, melihat mamanya sedang berdiri mengenakan celana olahraga panjang dan kaus.

Arsya sedang berenang mengenakan celana boxer. Ia naik dan meminta Lidya untuk ikut berenang. Lidya menggeleng, tetapi Arsya memeluknya dari belakang dan memaksanya untuk berenang.

"Kenapa gue ngerasa gini?" Clara menunduk beberapa detik, merasakan dada seperti tersengat lebah. Kembali melihat ke kolam renang.

Arsya masih merangkul sang istri dari belakang. "Ayuk, Bu Lidya."

"Arsya, saya malu lah dipeluk-peluk begini. Kalau ada yang lihat gimana?" Kepala Lidya menoleh ke segala arah, hanya saja tak mendongak ke arah di mana Clara berada.

"Kenapa malu, Bu Lidya? Kita kan suami istri."

Lidya tertawa pelan. Arsya menuntunnya untuk turun ke kolam renang, dan mereka berenang bersama.

"Saya malu kita berenang berduaan di sini." Lidya kembali menoleh sekitar.

"Bu Lidya, kita hanya berenang. Bu Lidya pakai baju, saya pakai celana. Kita tidak melakukan perbuatan tak senonoh." Arsya tertawa meledek, lalu menatap si istri dengan senyuman dan anggukan.

Mata Clara sedari tadi tak berkedip. "Ngapain gue sedih, ngapain? Gue harusnya seneng ngeliat Mama seneng."

Arsya keluar dari kolam renang untuk mengambil sesuatu. Laki-laki ini kembali membawakan handuk dan jubah mandi untuk Lidya.

Saat sang wanita naik ke darat, Arsya seketika menaruh handuk di rambut si istri dan mengeringkannya, lalu sang suami telaten memasangkan baju handuk untuk Lidya.

Di balik jendela, Clara tersenyum getir. Iri, rasanya ingin diperlakukan demikian oleh seorang laki-laki. Gadis ini berjalan menuju kasur, berbaring miring dan memeluk bantal guling.

Terlintas bayangan saat Clara kedinginan dan Arsya mendekapnya. Mereka berbaring saling mendekap di gubug kecil saat mereka tersesat.

Kenapa gue kangen? Gue kangen masa-masa tersesat waktu gue cuma berdua bareng Arsya. Waktu itu, gue cuma sama dia, nggak ada orang lain. Kenapa gue pengen bareng lo lagi, Arsya? Kenapa sekarang, gue ngerasa kesepian saat lo berduaan dan bermesraan sama Mama? Apa gue cemburu? Clara membatin, tatapan sendu memikirkan perasaan sendiri.

Ponselnya berdering, panggilan dari Raisa. Clara mengangkat dan mengiyakan permintaan Raisa. Bangkitlah dari kasur dan bersiap ke rumah Raisa.

Sesampainya di sana, langsung disambut Raisa dan Nita. Mereka berkumpul di tempat tidur dan berbaring. Clara hanya terdiam terlihat murung. Raisa dan Nita saling menatap, menaikkan alis menyadari bahwa ada yang berbeda dengan Clara.

"Eh, udah beberapa hari ini gue baru nyadar kalau lo sekarang udah nggak pernah lagi tuh curhat tentang makhluk sialannya lo. Gimana?" tanya Nita penasaran.

"Gue capek ngerjain dia terus, udah berapa tahun gue selalu jahatin dia terus. Gue udah nggak mau jahatin dia lagi," jawab Clara lugas.

"Serius lo!" bentak Nita tak percaya.

"Alhamdulilah." Raisa memeluk Clara. "Gue seneng lo udah nggak jahil lagi."

"Sejak lo balil dari tersesat di hutan, lo sekarang berubah. Jangan-jangan kepala lo ketuker, kayak yang di Spongebob itu, yang kepala Patrick ketuker, terus dia jadi pinter. Nah, kalau lo, kepalanya ketuker terus lo jadi baik." Nita memutar pelan bola mata, berpikir.

"Dih, apaan sih lo, Nita. Bukannya seneng. Clara sekarang nggak jahatin Arsya lagi. Dia sekarang juga udah manggil namanya, Ar-sya!" cecar Raisa memperingati agar Nita tidak mengopori lagi.

Clara terdiam, menatap langit atap dan memikirkan Arsya, sementara kedua sahabatanya asyik berdebat.

Di rumah Lidya berada, dia tengah duduk di sofa, terlihat lesu. Arsya datang menghampiri. Ia mengangkat kedua kaki, memangku, dan memijat kaki Lidya. Tentu saja seketika wanita ini tersenyum.

"Saya dulu suka banget dipijat sama Winda, kami sambil mengobrol bersama dan bergurau."

Arsya tersenyum.

"Nanti kita jadi 'kan ke makam Winda?"

"Iya, Bu."

"Kamu ini benar-benar anak yang berbakti. Setiap hari Jumat kamu selalu menabur bunga di makam Winda dan mengirim doa. Saya harap, kalau saya meninggal, kamu juga akan mengingat saya, dan mendoakan saya." Lidya menatap Arsya dengan senyuman bangga sekaligus harap.

"Kalau saya yang meninggal duluan?" Arsya menaikkan sebelah alis.

"Arsya, kamu ini masih muda. Masa depan masih panjang, semoga saja saya yang meninggal duluan."

"Ya, kita tidak tahu takdir kita, Bu Lidya." Arsya sedikit tertawa.

Dari teras, Clara memasuki rumah dan berjalan ke ruang santai. Langkahnya terhenti ketika melihat Arsya yang masih memijat Lidya.

Kenapa makin hari perasaan gue kek gini? Apa gue bener-bener cemburu? Clara membatin, menggeleng-geleng. Nggak-nggak-nggak, gue ini apa-apaan! Arsya itu suami Mama.

Begitulah, semakin hari Clara selalu ingin tahu dan ingin melihat apa saja yang mama dan ayah tirinya lakukan.

Saat Lidya sedang menyirami tanaman, Arysa berjalan dari belakang hendak menghampirinya. Clara mengintip, melihat Arsya memeluk Lidya dari belakang. Mereka saling menatap dengan senyuman, kemudian menyirami tanaman bersama-sama dengan bergandengan tangan.

Clara berbalik, menghempaskan napas keras. "Gue nggak cemburu, gue nggak cemburu," batinnya mencoba menyangkal.

Dia berjalan ke ruang rak sepatu dan hendak pergi ke kampus. Dia menghampiri Kevin yang sedang memegang lem dan sepatu milik Arsya.

"Kak Kevin ngapain? Udah deh, Kak, jangan jahilin Arsya."

Kevin berdecih. "Lo ini kenapa, sih? Lo udah nggak asyik lagi sekarang." Ia menatapnya, tidak suka perubahan Clara yang selalu membela Arsya.

"Kak, gue udah bilang berkali-kali, udah saatnya kita terima Arsya sebagai anggota keluarga kita."

Kevin mendengkus kesal, membanting sepatu Arsya. Laki-laki menghentakkan kaki sebelum meninggalkan sang adik.

Clara mengambil sepatu Arsya, mengembalikan ke tempat semula. kemudian berjalan menuju tempat parkir mobil. Langkahya terhenti saat melihat Arsya sedang berdiri di depan mobil Lidya, terlihat tengah berbisik ke telinga istrinya. Lidya tertawa dan menggeleng-geleng bersama senyuman merona, lalu Arsya mencium lembut keningnya.

Clara kembali melangkah dan menunduk. "Kenapa gue harus lihat mereka selalu berduaan?" uajrnya dalam batin.

Di malam yang lain, Arsya mengajak sang istri untuk berkencan. Ia telah membelikan gaun cantik. Lidya tersenyum di depan kaca melihat gaun yang dia kenakan. Arsya juga mengenakan setelan jas dan celana pantofel. Ia menghampiri istrinya dan mengagumi keanggunan si wanita awet muda.

"Bu Lidya cantik sekali."

Arsya menggandeng Lidya dan berjalan keluar. Mereka menghampiri Clara yang sedang menonton televisi.

"Sayang, Mama sama Arsya pulang telat, ya? Have a nice evening, Sayang." Lidya kembali berjalan bersama Arsya.

"Ya, Ma." Clara tersenyum.

Arsya menggandeng tangan Lidya.

Mesra banget, batin Clara. Beranjak dan naik ke lantai dua. Tak lama kemudian, Clara melihat mobil Arsya melaju.

"Mama sama Arsya mau ke mana, ya? Kelihatannya mereka bakal berkencan spesial. Clara, lo nggak boleh punya perasaan kayak gini. Arsya suami Mama," katanya dalam hati.

Hingga larut malam, Lidya dan Arsya belum pulang. Clara berdiri di depan jendela, lalu kembali berbaring miring di kasur. Melihat ke ponsel dan memikirkan sang mama bersama suaminy.

"Udah jam segini, mereka belum pulang, mereka lagi apa, ya?"

Dia gelisah, telentang, miring kanan, kemudian kiri. "Tolong aku, Tuhan. Aku pasti nggak cemburu." Kedua tangannya mengacak-ack rambut sendiri, frustrasi.

Kami yang BerdosaWhere stories live. Discover now