10. Terpaksa Merestui

87 26 27
                                    

Kipas angin berputar di dalam sebuah ruang berukuran 10x12 meter, bercat putih. Dua gadis tengah berada di ranjang, sibuk dengan ponsel, sesekali mendongak menilik seorang teman yang tengah mengutarakan kekesalan.

"Sumpah-Sumpah, gue gedeg banget sama cowok sialan itu, argh!" Clara mengacak-acak rambut, frustrasi. Kaki kanan menginjak keras lantai keramik kamar Raisa.

"Dia itu punya nama, Clara, panggil namanya, Ar-sya!" ujar Raisa, si cewek berhijab merah muda.

"Terserah Clara, dong!" bantah Nita, si cewek berambut pendek sebahu. Melirik malas Raisa yang telungkup di sebelah.

"Ish, kalian berdua ini." Clara kembali menginjak-injak lantai. "Pokoknya gue sebel, benci sama cowok sialan itu! Sebel, sebel, sebel argh!" Disusul suara lengkingan panjang.

Nita dan Raisa refleks melepaskan ponsel dari genggaman, menutup telinga dengan kedua tangan, dan matanya terpejam erat beberapa detik.

"Clara, inget lo kalo benci sama seseorang jangan berlebihan kayak gitu, itu gak baik, se-wa-jar-nya aja," tutur Raisa dengan sabar. Kembali mengambil ponsel yang tergelatak di kasur.

"Tapi Sa, gue tuh benci banget sampe ke tulang sumsum, sampe ke ubun-ubun. Kemaren aja, dia masa ganti parfum gue jadi bau busuk." Clara mengeluh, bahunya merosot, kepala mendongak.

Raisa dan Nita tertawa terpingkal-pingkal.

"Ya, kan karna lo ngerjain Arsya duluan." Raisa membela Arsya  mencebikkan bibir.

"Lo malah belain cowok sialan itu, sih!" sergah Clara. Menampar udara, yang sebenarnya ingin menampar Raisa.

"Tahu nih, Raisa kebiasan!" Nita sebal, berpaling dari wajah Raisa.

Suara cekikikan cukup keras di kamar tersebut. "Tapi bener, Clara, kalau benci sama seseorang jangan berlebih kayak gini. Siapa tahu ntar benci jadi cinta. Kan banyak yang kek gitu kayak di film-film," kata Raisa meledek. Memainkan kedua alis dan menatap Clara dengan genit.

Nita tertawa tergelak. "Bener juga."

Seketika Clara membantah, "Nggak mungkin lah! Kalian tahu nggak?" Clara melangkah mendekati kepala dua teman yang sedang tengkurap, berkacak pinggang dan teriak, "Cowok sialan itu mau nikahin mama gue!" Kedua tangan terangkat dan menutup kedua telinga, matanya terpejam erat.

Seketika Nita dan Raisa juga menekan telinga dengan telapak tangan. Mereka terperanjat, duduk di tepi kasur.

"Lo seriusan?"

"Beneran?"

Tanya Raisa dan Nita bersamaan tidak percaya, saling menoleh.

"Ya, bener lah. Gue nggak bercanda! Tapi please ya kalian jangan sebarin berita ini ke temen-temen kampus kita." Clara merengek dan memohon.

Raisa dan Nita mengangguk pasrah. Keduanya masih terkejut atas berita ini.

"Gila nggak sih, masa makhluk sialan itu mau nikahin mama gue. Kalian bisa bayangin nggak? Udah gue benci banget ma dia. Dia itu jauh banget umurnya sama mama gue. Gue malu Raisa, Nita, gue malu. Itu gila, nggak masuk akal. Mereka tuh jauh banget umurnya, masa mau nikah?"

Raisa berdeham tiga kali, terdiam sesaat, mengelus dagu dengan jari telunjuk dan ibu jari. "Ya, kalau setahu gue sih, menikah sama yang beda jauh umurnya kayak gitu enggak ada tuh larangan dalam hukum atau agama. Ya 'kan? Toh, Arsya udah dewasa, udah baliq. Jadi, ya sah, sah aja."

"Aduh, Raisa, kan gue malu." Clara merentangkan kedua tangan dan menghempasakan ke bawah.

"Kenapa mesti malu, sih? Emangnya aib, bukan kan? Ciye, punya papa muda," cetus Raisa meledek dengan senyuman lebar

"Raisa!" bentak Clara, cemas ingin memukul si gadis berhijab tersebut.

"Tahu nih, Raisa, gimana sih!" sahut Nita sewot. Menyenggol kasar bahu Raisa hingga hampir terjatuh dari ranjang.

Di tempat sang kakak laki-laki Clara berada, seorang pekerja tengah sibuk memasang spion pada mobil sport. Pekerja lainnya sibuk mengganti ban mobil. Cukup ramai di dalam salon mobil tersebut, tetapi tidak membuat Kevin tersenyum. Tidak tenang dan terus memikirkan pernikahan Arsya dan Lidya. Laki-laki ini memutuskan untuk bergegas pulang.

Sesampainya di rumah, segera berdiri di lantai dua. Beberapa saat kemudian, seorang yang ditunggu keluar dari kamar. Kevin seketika mendeket dan mulai mencari keributan.

"Heh, lo bener-bener nggak dengerin omongan gue! Lo tetep mau nikahin mama gue, hah!"

"Iya, Kak. Saya akan tetap nikahin Bu Lidya." Arsya mengangguk mantap.

"Lo keras kepala atau emang sengaja ngajak gue ribut?" Kevin meremas erat kerah baju Arsya.

Pemilik kemeja motif kotak berwarna merah tersebut, menangkap tangan besar Kevin, lalu melemparkan hingga membuat si pemilik mundur selangkah. "Maaf, Kak. Saya tidak ada waktu untuk melayani Kak Kevin." Ia melangkahkan kaki.

"Kurang ajar ya!" Kevin berjalan cepat. Diraih pundak dan membalikan badannya dengan kasar.

Lidya tiba-tiba datang dan membentak Kevin. "Kevin, cukup!"

Arsya memutar tubuh ke semula, berjalan menuruni tangga.

"Mama mohon sama kamu, berhenti mengganggu Arsya! Arsya itu calon suami Mama!" cecar Lidya, mata membesar dan kepala menggeleng tanda larangan keras.

"Gila!" Kevin terperangah sekaligus gondok. Kedua tangan terangkat ke atas. Tak bisa bicara dan frustrasi bagaimana cara agar sang ibu tak menikah dengan Arsya.

Masih tak menyerah. Hari berikutnya, Kevin kembali menghadang Arsya di depan kamarnya. "Kalau lo tetep mau nikahin Mama, lo bakal tahu nanti akibatnya."

"Saya tidak takut ancaman Kak Kevin." Ucapan Arsya tenang, bergeser dan meninggalkan Kevin.

"Makin nggak tahu diri, dasar!" sembur Kevin, matanya mendelik. Berkacak pinggang, lalu kepalan tangan ia lambungkan ke udara.

Lidya menghampiri Kevin, menatap serius sang putra sulung. "Kevin, kamu yang akan langsung berhadapan sama Mama kalau kamu berani macam-macam sama Arsya." Wanita ini melangkah pergi.

Kevin menganga, beberapa hitungan detik napasnya tertahan. Hanya bisa meninju udara untuk melampiasakan kekesalan. Kening sendiri ia pijat. Mata terpejam erat dan berpikir.

Kevin dan Clara tidak menyerah untuk menentang pernikahan sang ibu dan Arsya. Namun, Arsya selalu tidak memedulikan mereka. Terlebih, Lidya selalu membelanya.

Pertengkaran dan keributan kedua anak dan ibu setiap hari selalu tidak ada henti. Hingga Lidya berbicara lagi dengan cara baik-baik kepada kedua anak itu dan memohon untuk merestui pernikahannya.

Sang ibu yang duduk di tengah menggenggam telapak tangan mereka. "Mama mohon sama kalian, sudah, ya? Jangan seperti ini terus setiap hari. Kita ini keluarga, kita harus saling mendukung. Selama ini, Mama selalu menuruti permintaan kalian. Kali ini Mama mohon sama kalian, Mama sangat percaya kepada Arsya."

Bagaimanapun juga, Kevin dan Clara adalah anak Lidya. Dalam benak yang terdalam, mereka menyayangi ibu yang sudah merawat sedari bayi. Akhirnya terpaksa mengiyakan pernikahan Lidya bersama seorang laki-laki yang jauh lebih muda.

Kami yang BerdosaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang