49. Bersalah

107 31 54
                                    

Seorang laki-laki yang tengah dibakar amarah, membuka pintu kamar sang ibu. Punggung wanita paruh baya itu berguncang akibat tangis, tangannya meremas dada. Sang anak bisa melihat jelas betapa sakit hati yang dirasakan Lidya. Kevin semakin tidak terima atas perlakuan Arsya terhadap sang ibu. Ia memutar badan, kembali ke teras depan. Arsya tengah dibantu duduk oleh Bi Rita dan Clara. Terdapat kotak P3K.

"Minggir semua!"

Clara dan Bi Rita tersentak. Bi Rita langsung melepaskan pegangan pada tubuh Arsya, lalu berdiri agak menjauh. Sementara Clara masih pada posisi sama.

"Kak Kevin mau apa lagi?" tanya cemas Clara.

Kevin tidak memedulikan pertanyaan si adik. Iris mata cokelat gelap melirik tajam koper kecil berwarna merah. Ia menendang kotak tersebut hingga semua isi berserakan, kemudian berjongkok di hadapan Arsya, menggenggam kausnya dan memaksa berdiri. 

Kevin membenturkan punggungnya ke dinding. "Dasar, cowok modal kontol doang!" Suara geramannya terdengar bersamaan seluruh gigi yang bergemeretak.

Ia menarik, kemudian mendorong memaksa Arsya berjalan ke kamar. Lidya seketika mengeringkan pipi dengan jemari, melirik kedua laki-laki yang berada di sebelah. Kevin meremas erat kaus Arsya.

"Talak mama gue, sekarang juga!" perintah Kevin menggeram, menahan untuk tidak berteriak di hadapan Lidya.

Arsya menatap nanar sang istri, menggeleng pelan, sementara jantung Lidya berdegup lebih kencang, tetapi memilih untuk berdiam.

"Talak!" Kevin kembali menggertak.

"Enggak! Saya masih mau jadi suami Bu Lidya," kata Arsya menegaskan.

"Bangsat emang nggak tahu diri," Kevin menatap sang mama, "Ma, gugat cerai orang nggak tahu diri ini." Menatap bengis Arsya. "Lo bakal balik ke asal lo, jadi gembel. Lo nggak bakalan dapet apa-apa, apalagi Keisha."

"Aku bener kan Ma, untung Mama dengerin aku waktu nikah Mama pake prenup, sekarang Mama tahu sendiri, kan?" Kembali menatap Arsya penuh benci, "lo bajingan beruntung yang ngelunjak. Nyokap gue emang udah kepala empat, tapi nyokap gue bisa dapet laki-laki yang sepantasnya, bukan lo yang kelakuannya kek binatang!"

Kevin menarik paksa Arsya keluar dari kamar, menghempaskannya hingga terjatuh miring. Ia menghentakkan kaki menuju dapur. Ingrid tengah mencuci piring, menunduk takut melihatnya.

"Mbak keluar dulu," ucap Kevin terengah-engah.

Ingrid mengangguk, melangkah cepat meninggalkan dapur. Kevin menyalakan kompor, membuka lemari. Ia melihat mangkuk terbuat dari baja, menaruhnya pada api biru itu. Balik menemui Arsya, mendorong dan memaksa berjalan ke dapur. Clara membuntuti.

"Kak Kevin, cukup, mau ngapain?!" tanya Clara berteriak.

Kevin tidak memedulikan si adik, terus menghentakkan punggung Arsya hingga ke dapur, dorongan terakhir membuat tubuhnya menabrak rak kecil dekat wastafel berisi gelas dan piring yang masih basah.

"Lo katanya mau hukuman, 'kan?" tanya Kevin diakhiri seringai, "buka kaos lo!"

Arsya membenarkan posisi berdiri.

Kevin berteriak lagi karena Arsya hanya kebingungan. "Buka, bangsat!"

Tidak sabar, Kevin mengambil gunting, memotong ujung kaus bagian bawah, menyobeknya hingga Arsya telanjang dada. Kevin melempar potongan-potongan kain, mundur beberapa langkah, menunjuk mangkok yang membara dan berasap. Clara menganga menatap kompor, dadanya naik-turun tiga kali lebih cepat.

"Gue kasih lo sedikit hukuman, ambil mangkok itu," perintah Kevin bernada datar.

Clara menggeleng cepet. "Arsya!" Menatapnya berisyarat memohon agar tidak melakukan apa yang Kevin perintahkan.

Kami yang BerdosaWhere stories live. Discover now