sembilan; kebenaran (1)

183 12 0
                                    


Aurel duduk di cafe milik Jivan, siang itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aurel duduk di cafe milik Jivan, siang itu. Tidak ada seorang pun yang menemaninya selain buku buku tebal kesayangannya dan segelas es americano—yang luar biasa pahitnya tersebut. Netranya sibuk m
elirik kesana kemari berharap menemukan seseorang yang sejak tadi dinantikannya. Sayang sekali hingga siang menjelang, sesosok itu tidak kunjung menampakkan batang hidungnya.

Ada sedikit rasa kecewa tumbuh dalam dirinya kala menyadari bahwa ini bukanlah hari baik untuknya. Terkadang ia juga menyadari bahwa tindakannya seminggu yang lalu mungkin terlalu berlebihan, sehingga orang yang ia maksudkan tidak ingin bertemu dengan dirinya lagi.

Hampir saja ia mengemasi buku buku dan americano-nya, jika saja seorang gadis bersurai abu gelap datang ke mejanya dengan pakaian lengkap ala pegawai cafe ini. Ia bahkan sudah tidak terkejut lagi akan kehadiran gadis itu sebab selama seminggu ini, gadis bersurai abu gelap itu sering menghampirinya.

"Buru-buru banget kayaknya mbak?" tanya Raya yang baru saja merapikan beberapa majalah di rak lantas menghampiri Aurel yang tadinya ingin berkemas dan pulang.

"Aku harus pulang secepatnya. Ada urusan yang harus aku kerjain," jawab Aurel cepat.

"Nggak mau nunggu mas Hardan dulu?" tanya Raya.

"Nggak deh, lain kali aja. Lagi buru-buru soalnya,"

Raya mengangguk kemudian mencekal lengan Aurel sebentar, "Mbak bisa kok dapat pengganti yang lebih baik dari Mas Hardan. Semangat ya mbak!"

Mendengar sebuah kalimat yang tak ia sangka akan ia dengar dari Raya, membuatnya terpaku sejenak di tempatnya. Seketika ucapan tersebut juga menyadarkannya bahwa sampai kapanpun ia tak akan pernah berhasil mendapatkan hati Hardan. Lelaki itu memiliki pilihannya sendiri. Aurel mengetahuinya dari bagaimana cara Raya menatapnya saat ini.

"Kamu ngomong kayak gitu seolah kamu tau aja apa yang lagi Hardan rasain saat ini," ucap Aurel dengan nada suara dingin. Ada sedikit nada mencibir yang terdengar membuat Raya terkekeh kecil mendengarnya.

"Aku pernah berada di posisi yang sama dengan mbak sebelumnya. Tentu aku tau gimana rasanya," sahut Raya.

"Maksud kamu .... jangan bilang kamu—"

"Ray, boleh kesini sebentar nggak?"

Cekalan tangan Raya pada lengan Aurel pun terlepas. Ada segurat senyuman yang gadis itu tampakkan di depan Aurel sebelum berlalu pergi darisana. Ia kembali ke balik meja kasir untuk menemui Jivan yang tadi memanggilnya.

Alih-alih mendekat untuk bertanya, Aurel memilih melanjutkan niatnya untuk pergi darisana. Perasaannya campur aduk. Ia tidak tahu harus mengkategorikan perasaan macam apa yang tengah ia rasakan ini. Gerak tungkainya berhenti kala netranya tanpa sengaja menangkap pemandangan yang membuatnya kembali mematung di tempat.

Sebelumnya ia pernah mendengar sebuah rumor tentang Hardan di kampus. Tepat di hari pertama dirinya menginjakkan kaki disana. Tentang Hardan yang dirumorkan telah melecehkan seorang gadis dan membuatnya hamil di luar nikah. Sebuah rumor yang ia hempaskan begitu saja, berpura-pura tidak tahu tentangnya, namun kali ini adegan Hardan memeluk seorang wanita hamil dan mengecup keningnya singkat—telah membuktikan bahwa rumor yang ia dengar hari itu mungkin memang benar adanya.

RUMORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang