sepuluh; akhirnya

188 14 2
                                    


Vote nya boleh banget ya guys

Vote nya boleh banget ya guys

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hardan menguap pelan. Diliriknya sekilas jam dinding yang sudah menunjukkan dini hari. Itu artinya sudah 3 jam lebih dirinya berada di depan laptop untuk mengerjakan laporan keuangan cafe.

Sedaritadi ia duduk di salah satu meja paling ujung dengan cangkir kopi yang sudah tandas tak bersisa. Terbesit niat untuk refill kopinya kembali, namun dering ponsel  mengejutkannya yang tadinya ingin berlalu sebentar ke dapur.

Satu panggilan dari yang terkasih, membuatnya mengulas senyuman sebelum dengan cekatan menggeser tombol hijau, guna mengangkat panggilan.

"Halo?"

"Ih kamu dimana? Kan aku udah bilang hari ini jangan pulang larut," omel sebuah suara di seberang sana, membuat Hardan meringis bersalah.

"Maaf, ada laporan yang harus aku kerjain bentar. Ini udah selesai kok," Hardan menjepit ponselnya diantara rahang dan bahu, sedangkan tangannya sibuk meraih tombol dispenser.

"Yaudah aku tungguin ya? Langsung pulang gausah mampir-mampir,"

"Ayay, kapten!"

Panggilan terputus begitu saja. Hardan berjalan untuk mengemasi laptop berikut tas dan barang-barang lain yang masih tercecer di atas meja. Setelah merapikan cafe sebentar, ia pun bergegas mematikan lampu dan berjalan keluar.

Dia adalah satu-satunya pegawai yang tersisa disana malam itu. Yesha dan Raya yang biasanya ikut bantu-bantu sudah lebih dulu pulang sejak jam 9 tadi. Begitupula Jivan selaku sang pemilik yang tidak pernah tinggal lebih dari jam 10 malam di cafenya sendiri.

Maklum lah, ia punya istri yang harus diurus juga di rumah. Keegoisannya pun harus ia luruhkan sejenak guna memberikan quality time yang berkualitas untuk istri dan calon anaknya.

Jarak cafe dengan rumah tidak begitu jauh. Hardan sampai di rumah setelah tadi sempat mampir sebentar untuk membeli wedang wuwuh kesukaan orang-orang rumah. Tidak terkecuali Cantika—sang adik—yang merupakan pecinta wedang wuwuh nomor wahid.

"Udah sampai?"

Hardan mengangguk seraya merentangkan kedua tangannya lebar, tepat setelah dirinya menaruh sepasang sepatu putih ke atas ranjang. 

"Iya, Cantika mana?"

Gadis yang tadi masuk kedalam pelukannya, melepaskan diri sejenak. Sibuk menatap Hardan yang tanpa henti tersenyum kepadanya.

"Lagi ngerjain tugas kuliahnya tuh di kamar," jawabnya.

"Tumben banget kamu mau nginep disini?" tanya Hardan.

"Papi lagi ada dinas diluar kota, Jovan nggak tau kemana tuh anak, mami juga lagi ada urusan, takut banget sendirian dirumah,"

Hardan terkekeh, tangannya terjulur untuk menyentuh pucuk kepala gadis disampingnya, siapa lagi kalau bukan Gita. Sahabat sekaligus tetangga yang hampir setiap saat merecoki kehidupannya. Namun Hardan sama sekali tidak keberatan direpotkan oleh sahabatnya satu ini.

RUMORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang