dua puluh dua; pengirim pesan (1)

41 6 3
                                    








Vote dulu yuk














Vote dulu yuk

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Kabar yang disampaikan oleh Winna berhasil membuat Kaia dan Hanum tercenung. Bukan, mereka bukan tidak bahagia mendengarnya, hanya sedikit terkejut mendengar keputusan Winna untuk menetap di Jogjakarta bahkan hendak bersekolah disini.

Semuanya sudah diurus lengkap oleh Yesha—sebagai wali pengganti Jivan dan Widia. Winna dan Elle berhasil masuk ke sekolah baru mereka, sesuai dengan apa yang sudah dibicarakan sebelumnya.

Arsen yang juga duduk di cafe siang itu, ikut tercenung mendengar cerita riang dari adiknya. Membuatnya tidak habis pikir, darimana datangnya ide untuk mengurus kepindahan ke kota ini dan bahkan mengenyam pendidikan di wilayah yang bukan tempat mereka.

“Terus siapa yang ngurusin kalian disini nantinya?” tanya Arsen setelah menyeruput sedikit lemon squash-nya.

“Tante Yesha,” jawab Winna dengan entengnya, Arsen menggeleng heran.

“Win, kamu sadar nggak sih kalau kamu ini sudah merepotkan orang lain?” nada bicara Arsen pun naik, membuat Hanum dan Kaia sama-sama menoleh ke arahnya spontan.

Keduanya saling pandang sejenak, sebelum sama-sama menyentuh bahu kanan dan kiri Arsen—bermaksud menenangkan pemuda yang memang duduk dengan diapit oleh dua gadis sahabatnya itu.

“Mas Arsen kenapa marah-marah? Mas tau apa?” Winna ikut meninggikan nada suaranya, matanya tak sengaja melotot karena terlalu kaget mendengar kakaknya berbicara keras kepadanya.

“Apa kamu bilang? Winna, kamu—”

“Aku nggak mau balik ke Jakarta. Nggak mau balik ke rumah itu sebelum mama sama papa pulang,”

“Winna kamu tuh egois,”

“Aku nggak peduli!”

Winna memundurkan kursi sedikit, kemudian bangkit darisana sebelum sempat dikejar oleh Arsen. Lagipula pemuda itu tidak dapat pergi kemanapun karena langkahnya ditahan oleh Hanum dan Kaia yang juga berada disana sejak tadi.

“Sen, kenapa sih ngomongnya kayak tadi?” tanya Hanum.

“Dia itu hobinya ngeyel, kalau nggak dikerasin dikit nanti ngelunjak,” sahut Arsen seraya memegang kedua pelipisnya dan memijatnya pelan.

“Lagipula dia disini sama tante Yesha, ada kita juga kok, kenapa kamu nggak ngebolehin dia ada di kota ini?” tanya Kaia penasaran.

Arsen mengembuskan napasnya samar, “Aku udah janji sama papa bakalan jagain mereka. Kalau ternyata jadinya kayak gini, aku nggak tau akan semarah apa papa sama aku,”

Ia kembali menenggelamkan kepalanya bertumpu pada kedua lengannya yang dilipat di atas meja. Terdengar helaan napas berat yang membuat Hanum dan Kaia kembali berpandangan satu sama lain. Seraut wajah khawatir muncul pada keduanya, setelah melihat bagaimana sedihnya Arsenno saat ini.

RUMORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang