tujuh belas; cinta pertama

87 5 0
                                    





Vote dulu yuk



















Udah?















Here we go









Here we go

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


“Aduh!”

Reine meringis kecil kala tidak sengaja menabrak punggung mungil milik Hanum. Pagi itu mereka berangkat bersama ke sekolah dengan berboncengan naik sepeda. Alasan mengapa mereka naik sepeda adalah sama-sama sedang merajuk pada ayah masing-masing. Semalam Reine merajuk karena tidak boleh naik motor ke sekolah, sedangkan Hanum belum kunjung pulang ke rumah setelah insiden kaburnya kemarin.

“Ngeremnya dadakan banget mbak,” gerutu Reine pada Hanum. Namun bukannya menjawab, Hanum justru acuh dan lebih memilih terpaku pada satu objek di depan sana.

“Lewat jalan lain aja ya?” ujar Hanum tanpa basa-basi langsung memutar arah menjadi berlawan dari arah sekolah.

“Lho kenapa? Sekolah kita kan udah deke—”

Hanum tidak menggubris ucapan Reine. Kaki mungilnya sibuk mengayuh sepeda ke arah lain menuju jalan pintas. Degup jantungnya kian membara kala bayang-bayang seorang pemuda berseliweran di dalam kepalanya. Ia juga yakin mungkin dua pipinya sudah berubah warna menjadi kemerahan karena tersipu.

Sementara itu Reine yang tidak tau apapun hanya menurut saja kemana Hanum akan membawanya. Jalan pintas menuju sekolah memang tidak jauh dari perempatan kecil tadi, tetapi cukup memakan banyak waktu karena mereka perlu berputar dari arah sesungguhnya.

Terserah dengan Kaia yang sudah lebih dulu berbelok ke arah tadi. Mungkin gadis itu sudah sampai di sekolah sejak beberapa menit yang lalu.

“Kamu lewat mana sih Han? Kok lama banget sampainya?” gerutu Kaia ketika melihat sepeda yang dikendarai oleh Hanum memasuki area parkir sekolah.

“Hehe maaf, tadi—”

“Mbak Hanum muter lewat jalan lain, nggak tau kenapa,” sambung Reine yang membuat Kaia memicingkan mata mendengarnya.

Tatapannya beralih pada Hanum yang mulai salah tingkah. Kaia tidak perlu bertanya untuk tahu apa yang tengah terjadi pada sepupunya tersebut. Dengan jahilnya Kaia berdeham berulang kali. Alisnya naik turun bermaksud menggoda Hanum yang masih bungkam tanpa kata.

“Pasti gara-gara ada Haidan and the geng di perempatan tadi kan?”

“Dih nggak ya, sok tahu kamu!” elak Hanum yang membuat Kaia tertawa terbahak-bahak mendengarnya.

Oknum bernama Haidan itu adalah teman sekelas Kaia dan Hanum di sekolah. Meskipun satu kelas, Hanum tidak terlalu mengenal Haidan dengan baik. Sebaliknya Kaia, ia tentu mengenal Haidan karena mereka kebetulan adalah teman sebangku. Termasuk, perasaan yang dimiliki Hanum pada Haidan, Kaia tahu semuanya.

RUMORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang