sembilan belas; kemunculan

56 7 0
                                    

Kaia pulang dengan berwajah lesu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Kaia pulang dengan berwajah lesu. Pemandangan yang tentu sangat kontras sekali dengan apa yang Kalyana lihat ketika gadis sulungnya itu berangkat tadi. Jendra yang tadinya semangat ingin mencoba oseng tempe buatan sang istri—seketika mengalihkan pandang ketika melihat Kalyana menatap ke arah lain.

Disana, diambang pintu, mereka melihat dua putri mereka tengah berjalan pelan masuk ke dalam ruang makan. Satu berwajah lesu, satu lagi terlihat khawatir. Yang lebih mengejutkan lagi, Kaia yang jarang sekali terlihat memeluk papanya justru kini tiba-tiba saja memeluk tanpa keraguan tergambar jelas pada wajahnya. Bukannya tidak dekat, namun Kaia cenderung lengket dengan bundanya selama ini.

Reine dan Kalyana saling berpandangan sejenak sebelum kembali menaruh atensi usai mendengar suara isak tangis mengudara. Baiklah, ini juga pemandangan baru bagi keduanya sebab jarang sekali melihat seorang Kaia Abirama menangis.

“Papa ... ” ucap Kaia yang membuat Jendra benar-benar melupakan tujuan awalnya. Kedua tangan kekarnya lantas mengungkung tubuh mungil Kaia dalam dekapannya.

“Anaknya papa kenapa nih?” tanya Jendra lembut. Diusapnya surai hitam legam berkilau milik putri sulungnya itu dengan lembut dan penuh kasih sayang.

Kaia menggeleng dalam pelukan tersebut. Semakin mengeratkan rengkuhan tangannya sendiri pada tubuh sang papa. Menumpahkan segala kesedihannya disana, meskipun ya, tetap saja membuat papa dan bundanya semakin merasa khawatir kepadanya.

“Reine, mbak nya kenapa?” Kalya mengalihkan atensi kepada si bungsu yang sejak tadi memilih diam menjadi penonton.

“Reine nggak mau ngomong kalau belum dapat izin dari mbak Kaia,” sahut si bungsu.

“Kok gitu?” Kalya merasa tidak terima.

Si bungsu tidak pernah menolak untuk menjawab pertanyaan darinya sebelum ini. Lalu apa ini? Mengapa dua bersaudara ini seolah bekerjasama untuk menghindar?.

“Oke, jadi ini masih seputar pemuda itu lagi ya?” tebak Jendra.

“Papa tau?” Kaia melonggarkan pelukan, menatap papanya dengan takut-takut.

“Bun, kenapa papa dikasih tau?” rengek Kaia dan Kalya menatapnya datar sebelum mengendikkan bahunya pelan.

“Memangnya kenapa kalau papa tau? Nggak boleh?”

Jendra bertanya seraya mengerutkan keningnya. Ada sedikit tatapan kecewa darinya yang membuat Kaia seketika merasa bersalah.

“Bukan gitu, tapi ... ”

Jendra tersenyum, “Kamu sudah tumbuh menjadi gadis remaja. Papa dan bunda pernah seumuran kamu sebelumnya, nak. Papa tau bagaimana rasanya punya ketertarikan terhadap lawan jenis. Dan saat kamu punya rasa tertarik terhadap pemuda itu bagi papa wajar wajar saja. Papa nggak marah kok .... ”

Kaia memberanikan diri mengangkat wajahnya. Mempertemukan manik mata hitamnya dengan manik mata sang papa. Melihat papanya menatapnya dengan teduh, membuat hatinya sedikit menghangat. Ia tidak pernah menyangka jika papanya akan memberikan respon seperti ini ketika mereka membahas tentang Haidan. Bayangan tentang wajah menyeramkan dari papanya yang biasanya bersikap overprotektif pun seketika menghilang dari benaknya. Ia bersyukur jika papanya sama sekali tidak marah.

RUMORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang