limabelas; janji

125 16 7
                                    

Satu tahun kemudian

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Satu tahun kemudian ....

Hardan berulang kali menghapus air matanya yang turun membahasahi pipi. Hatinya terenyuh mendengar Jendra mengucap akad terhadap sang adik yang sekarang sudah sah menjadi istri orang lain. Gita yang duduk disampingnya sembari memangku Kaia pun hanya dapat menenangkan sang suami dengan sengaja mengusap bahunya.

Hati Hardan itu lembut minta ampun. Tidak sekalipun dia membentak orang-orang di sekitarnya jika bukan karena mereka melakukan kesalahan fatal. Manusia ini gampang sekali tersentuh kepada hal-hal kecil dan diakhiri dengan menangis.

Bagi sebagian orang mungkin ia sering mendapat cibiran sebagai orang yang cengeng, tetapi tidak apa-apa, Hardan tidak pernah mempermasalahkan apa kata orang kepadanya. Lagipula dia tidak melakukan kejatahan yang merugikan orang lain, lantas mengapa dirinya harus merasa tersinggung?.

“Kaia sayang, sini duduk sama papi ya?” ucapnya seraya merentangkan kecilnya hendak menyambut si gadis kecil yang tadinya duduk tenang di pangkuan Gita.

“Aku gapapa kok, belum capek,” tolak Gita halus, Hardan menggeleng.

“Kamu itu lagi hamil tua, kalau kecapekan gimana?” tanya Hardan yang akhirnya membuat sang istri menyerah.

Kaia yang sekarang berumur 1 tahun itu, dengan patuhnya menurut pada apa yang diperintahkan papinya kepadanya. Dia bukan gadis cilik yang rewel, Kaia itu mudah sekali diasuh, begitu menurut Hardan dan Gita. Maka tidak heran jika gadis cilik ini lebih menempel kepada mereka dibandingkan Arseno.

Bagaimana tidak? Ketika Kaia duduk tenang bersama dengan papi dan maminya, Arseno justru berlarian kesana kemari hingga membuat Jivan dan Widia kewalahan mengejarnya. Acara sakral pun terkadang harus teralihkan pada segala tingkah menggemaskan Arseno cilik yang sulit dikendalikan.

“Rasanya pengen aku balikin ke dalam perut tuh anak,” dumel Widia yang mengundang tawa dari Gita.

“Mana bisa sih Wid, ada-ada aja kamu,” balas Gita.

“Semoga nanti adeknya lebih kalem daripada kakaknya,” sahut Widia lagi seraya mengelus perutnya yang sudah makin membesar.

Gita menganggukkan kepalanya lalu ikut mengelus perutnya sendiri yang juga sudah semakin membesar.

“Bener-bener fotokopian nya Jivan, nggak bisa diem, tebar pesona terus,” celetuk Hardan, Gita dan Widia melotot kepadanya.

“Lho aku ngomongin fakta,” bela Hardan pada dirinya sendiri.

“Pi,” Kaia dengan suara imutnya tiba-tiba saja menarik-narik jas yang dikenakan oleh Hardan.

“Iya sayangnya papi, ada apa?” tanya Hardan lembut seraya menaruh atensi sepenuhnya pada malaikat kecil di pangkuannya.

Kaia kecil menunjuk ke arah Jendra. Hardan mengangguk kemudian menggendong Kaia menuju papanya. Gita dan Widia memperhatikan interaksi keduanya dengan tatapan hangat.

RUMORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang