dua puluh empat; titik terang (1)

58 6 0
                                    

“Kaia benci sama bunda

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


“Kaia benci sama bunda.”

Kalyana menaruh cangkir tehnya sedikit kasar ke atas meja. Kejadian malam itu sudah hampir satu minggu berlalu, namun semuanya tidak dapat diperbaiki semestinya. Kejadian malam itu telah merubah segalanya, termasuk dari bagaimana cara Kaia bersikap kepadanya.

Anak gadisnya berubah menjadi sosok pendiam. Tidak lagi tertawa, tidak lagi banyak berbicara. Yang dilakukan hanya lah bangun, makan kemudian pergi ke sekolah. Semua orang di rumah dianggap layaknya patung berjalan, belum satupun anggota keluarga berhasil menggoyahkan pendiriannya.

Seperti pagi ini, hari-hari menyebalkan itu terulang kembali. Kaia duduk di meja makan, mengambil selembar roti tawar lantas mengoleskan selai nanas, tanpa sepatah kata keluar dari mulutnya. Jendra dan Kalyana saling berpandangan sejenak, begitupula Reine yang sengaja menjaga jarak dengan sang kakak.

Kejadian tempo hari, membuat Reine tidak habis pikir mengenai ucapan yang sempat sang kakak lontarkan kepada bundanya. Rasanya seperti, tidak pernah terbayangkan sebelumnya baginya akan mendengar sang kakak melontar kata kebencian seperti itu.

“Kay,”

Bukan suara Kalyana maupun Reine, melainkan suara sang papa kesayangan, Jendra Abirama. Mendengar suara sang papa, otomatis membuat langkah kaki Kaia terhenti begitu saja. Meskipun tanpa menoleh menatap sang papa, Kaia tahu, ada yang ingin disampaikan oleh papanya itu.

“papa anter, duduk dulu sebentar ya? Kita tunggu Reine selesai sarapan,”

Tidak terdengar kalimat berbau mendebat, Kaia kembali duduk di tempatnya sesuai dengan perintah sang papa. Meskipun ya, sebelum duduk, ia berdecak keras sekali sembari menghentakkan kakinya. Gerak gerik Kaia banyak menunjukkan bahwa dirinya belum reda dari rasa marahnya, namun tidak membuat Jendra lantas diam begitu saja.

“Reine udah selesai pa, berangkat sekarang yuk!” ucap Reine setelah sempat mendapat lirikan mata dari sang kakak.

“Lho itu rotinya belum habis. Nggak baik tau buang-buang makanan, habisin dulu gih?”

Layaknya Kaia yang sangat patuh saat sang papa memberi perintah, begitupula dengan Reine. Gadis itu turut mengikuti perintah papanya kemudian menghabiskan roti yang tinggal separuh itu.

“Kay, nanti papa mau ngomong sama kamu, boleh?”

Lagi-lagi tak ada penolakan, gadis itu menganggukkan kepalanya saja. Jendra turut menghela napasnya pelan, sebelum menghabiskan rotinya yang juga tinggal separuh lagi. Sedangkan Kalyana hanya diam saja di tempatnya tanpa mengucap sepatah kata pun.

Dalam kasus ini, ia tidak ingin ikut campur, sebab Jendra berjanji kepadanya akan membantu untuk menyelesaikan semuanya.


○○○


Lantunan suara lagu menggema di dalam mobil yang sedang berjalan melewati daerah lengang menuju sekolah tercintanya. Reine dan Jendra duduk di jok depan, sementara dirinya duduk di jok belakang sembari melihat pemandangan dari jendela.

RUMORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang