28: Isi Hati

770 72 67
                                    

YOU POV

Keesokan harinya..

"Pelan-pelan ya sayang.." pinta Mark saat aku bantu obati luka di ujung bibirnya. Kami rutin melakukan hal tersebut sejak kemarin yang membuat hubungan kami terasa semakin dekat dan hangat. Aku bahkan sampai meminta lelaki itu untuk tidur di kamarku guna menenangkan ku dari rasa takut yang terus menerus menyelimuti ku. Mark bantu aku ganti cairan infus setiap 8 jam sekali, berkat ilmu yang ia dapatkan langsung dari dokter yang memeriksa kami kemarin. Beliau memang tak bisa selama 24 jam merawat kami, namun master memintanya untuk terus datang sehabis lelaki itu bekerja di sebuah rumah sakit selama masa penyembuhan kami.

Aku oleskan salep di luka pada wajah Mark. Sebisa mungkin tak menciptakan rasa sakit untuk lelaki itu, setelahnya bergantian Mark yang mengobati luka di wajahku. Keadaan wajah kami persis seperti orang yang habis terkena musibah kecelakaan atau bencana alam. Dengan luka yang terlihat begitu memprihatinkan di wajah kami berdua.

Selepas mengobati luka di wajahku, Mark dudukkan dirinya di sofa depan televisi, sementara aku tetap berbaring di kasur sambil membuka handphone milikku. Terdapat sebuah notifikasi pesan dari Nijiro yang sepertinya mengetahui keadaanku saat ini, "Y/n, kau baik-baik saja kan?". Tidak, aku tak akan membalas pesannya walaupun lelaki itu mengirimkan pesan spam untuk menarik perhatianku. Aku akan patuh atas seluruh perintah master mulai dari sekarang, itulah sebabnya aku taruh handphone milikku kembali ke atas nakas lalu melanjutkan menonton sebuah series di televisi tersebut.

Dapat ku lihat dengan jelas, Mark yang menghembuskan napas kasar di depan sana. Aku tahu ia sedang membuka laptop miliknya dan aku yakin hal yang membuat lelaki itu kecewa pasti mengenai pekerjaannya yang merupakan seorang dosen baru.

Aku kuatkan diri untuk bangkit dari kasur ini, lalu berjalan dengan gontai sambil menyeret tiang infus yang masih menempel di tanganku. Mark yang sadar atas kegaduhan yang aku buat pun langsung bangkit guna menghentikan niatku, "Mau kemana? Kau harus beristirahat panjang, Y/n." ucap Mark begitu khawatir. Membuatku tertawa pelan, berusaha aku tutupi rasa sakit yang aku rasakan di sekujur tubuhku untuk mendudukkan diri di sofa tersebut.

"Badanku pegal jika harus terus berbaring, dad. Aku ingin duduk disini bersamamu juga." jawabku yang tak bisa Mark hentikan. Setelah berhasil mendudukkan diri di sofa depan televisi, aku lirik laptop milik Mark yang ternyata menampilkan surat pemecatan dirinya sebagai dosen di universitas tempatku menimba ilmu. Detik itu juga aku menoleh ke arah Mark yang berusaha menutupi kesedihannya.

"Dad, boleh aku pinjam pulpen dan tangan daddy?" tanyaku, sukses membuat lelaki itu menatapku bingung. Mark berikan pulpen miliknya dan aku tahan tangan kanannya agar terud berada di dekatku. "Daddy jangan lihat ya!" seolah paham aku ingin menulis sesuatu di tangannya, Mark tertawa pelan sambil membawa kepalanya menoleh ke arah berlawanan.

Aku tulis sebuah pesan di telapak tangan lelaki itu, berharap dapat sedikit mengobati rasa sedih dalam diri Mark. Pesan itu bertuliskan,

"To: Dosen Mark✨

Aku tahu cobaan yang bapak lalui sangatlah berat sampai membuat bapak harus merelakan pekerjaan sebagai seorang dosen, jadi jika bapak merasa sedih dan kecewa, menangislah. Ada aku yang akan selalu berada di sisi bapak, apapun yang terjadi. Bapak akan selalu menjadi pembimbing dan penerangku dalam kegelapan tanpa ujung ini.

From: Mahasiswi Y/n❤‍🩹"

Setelah itu, aku gambar wajahku dalam ukuran yang sangat mini mencium wajah Mark yang tersenyum di bawah tulisan tersebut. Ukuran tulisannya juga tak kalah mini, mengingat ukuran telapak tangan manusia memang tak sebesar kertas.

"Sudah dad." aku persilahkan Mark membaca tulisan di telapak tangannya, namun sebelum itu aku berikan sebuah kecupan manis untuk Mark di pipinya. Mark sempat tertawa malu mendapat kecupanku tersebut, namun setelah membaca tulisan di tangannya Mark terdiam sambil menundukkan kepala. Aku hanya diam, membiarkan Mark merasakan emosi yang berusaha ia tutupi dariku. Setelah merasa tak sanggup lagi menahannya, Mark menoleh ke arahku dengan mata yang berkaca-kaca. Lelaki itu tak mengatakan apapun, itulah sebabnya aku membuka tanganku seolah mempersilahkan Mark menghambur ke dalam pelukanku.

DERIUMWhere stories live. Discover now