7. Perkara!

9.1K 1K 142
                                    

Maafkan typo-nya (lagi). Dah ngantuk nggak sempet ngedit 😎

🧚🏻🧚🏻

Zia masih menatap wajahnya di cermin. Sesekali dimiringkan ke kiri untuk melihat lebih jelas rahang kanannya. Memerah, nggak bengkak, tapi masih pegal. Dia mengembuskan napas dengan capek. Sekali lagi tangannya memeras handuk kecil dan menempelkan ke lukanya. Terasa hangat di pipi.

"Kenapa sih tiap sama Om Edi pasti adaaaaa aja sialnya," decak Zia. Dia mencelupkan lagi handuk ke dalam wadah berisi air hangat. Gerakannya terhenti seketika, saat teringat sesuatu. Matanya membelalak sempurna. "Jangan-jangan ...."

Tadi kan Edward sebut-sebut nama Gwen, apa jangan-jangan ....

Zia langsung berbalik. Tangannya terangkup di depan dada, mukanya panik. Kedua lututnya sedikit menekuk, dengan tundukan kepala mirip seperti hamba yang meminta maaf kepada raja. "Maafin saya ya, mantan calon istrinya Om Edi. Saya nggak niat ambil hatinya kok. Cuma kagum-kagum dikit." Lalu dia berhenti, sedikit mendongak menatap dinding kamar, termenung. Bibir bawahnya tergigit karena gugup, sebelum gumamannya melirih. "Em, tapi sekarang udah kagum banyak, suka banyak, cinta sih cuma dikiiit aja."

Beberapa kali Zia merutuki mulutnya yang keceplosan. Lalu melanjutkan gumaman yang tertuju pada makhluk tak kasat mata. Siapa tahu kesialannya bersama Edward karena arwah Gwen tidak terima mantan calon suaminya dideketin.

"Tante Gwen yang terhormat, yang cantiknya kayak Gal Gadot, tenang aja. Om Edi nggak mungkin suka sama bocah katanya." Zia mengangguk-angguk, ada nyeri yang dia tahu asalnya dari mana. Hati tentu saja. Kalau ingat segimana yakin ucapan Edward waktu bilang nggak minat sama bocah, Zia pengin banget kubur perasaannya walaupun susah. "Tapi ... bilangin mantan calon suaminya ya, Tante Gwen yang terhormat. Biar jangan keterlaluan gantengnya. Nggak semua orang kuat liat yang begituan."

Bahu Zia meluruh. Embusan napasnya terdengar keras. Dari dulu emang nggak berubah, tingkat ketampanan Edward tuh di atas rata-rata. Apalagi kalau udah kasih perhatian kecil, Zia baper.

Dulu dia sering banget dicengcengin sama si Abang. Katanya waktu Zia masih umur lima tahun, tiba-tiba nyeplos bilang kalau Edward ganteng. Kecil-kecil udah tahu kosakata itu entah dari mana. Zia juga nggak ingat. Masa sih sekecil itu udah tau orang ganteng? Aneh.

Makanya tiap Edward datang main ke rumah waktu masih SMA, sedangkan Zia masih umur lima, Ogi bilang Zia sering lari-larian ganggu mereka nugas. Caper gitu intinya. Namanya anak kecil kadang butuh dilihat dan divalidasi keberadaannya.

Semua adalah kata Ogi. Zia jelas mendebat, nggak terima diceritain masa kecilnya yang nggak bermanfaat. Padahal dalam hati, dia malu banget. Kira-kira apa Edward ingat? Mungkin nggak.

Lalu saat Ogi dan Edward lulus SMA, Zia nggak pernah lihat si ganteng lagi. Lama-lama lupa karena sibuk sekolah juga. Ketemu lagi setelah sekian lama, waktu dia udah SMP. Bukan bocah kecil yang caper kayak dulu, Zia justru malu lihat Edward. Dia ingat waktu itu, ngintip ke ruang tamu demi bisa menatap wajah yang baginya sangat berkesan dalam hidup.

Di antara teman-teman Ogi yang berkumpul, Edward kentara sangat berbeda. Dari postur tubuh serta wajah. Zia paham kalau lelaki itu sudah pasti bukan orang pribumi asli. Pokoknya ada percampuran darah negara lain pasti.

Dan pertama kali juga Zia merasakan suka. Padahal masih SMP. Baru puber. Apalagi mengamati masa-masa hancur-nya Edward. Dia ikut sedih, sakit, nggak tega. Semua karena dia emang udah suka, jadi lihat yang disukai terpuruk, Zia bisa merasakan.

Zia pikir debaran tiba-tiba yang muncul tiap lihat Edward bisa hilang dengan sendirinya. Tapi ternyata tidak. Puncaknya adalah malam saat Edward menjemput. Bukan hilang rasa suka, malah naik level. Tapi Zia lebih bisa mengontrol perasaannya, agar tidak terlihat malu-maluin.

Lop Yu, Om!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang