66. Please?

6.6K 988 422
                                    

Tadi sempet update tapi notif gak masuk jadi ditarik lagi. Semoga ini masuk notifnya yaa🥹

🧚🏻🧚🏻

Sampai detik ini Ogi masih diam melamun. Pikirannya terbang ke mana-mana meski gerak tubuhnya sedang menimang sang anak dalam gendongan. Dia buntu. Ikut merasakan kebimbangan yang baru didengar dari lirih suara Edward di detik terakhir telepon mereka tersambung.

Ya Tuhan, kenapa semua jadi serumit ini? Ogi pikir Zia udah bahagia bersama Adrian. Meski tau bahwa di antara Edward maupun Zia akan sakit jika salah satunya termiliki, tapi bagi Ogi itu lebih baik ketimbang dua-duanya terpuruk.

Satu setengah tahun Ogi udah nggak mempermasalahkan Zia dengan siapa atau Edward dengan siapa. Adiknya bahagia menemukan lelaki baru, dan Edward pasti akan sembuh seiring berjalannya waktu. Tapi kepulangan Zia justru membuat Ogi dilanda kebingungan luar biasa. Apalagi saat Edward membisikkan permintaan maaf karena lelaki itu memutus persahabatan secara sepihak dengan hilang kabar, lalu meminta maaf karena katanya susah sekali merelakan Zia.

Nyatanya, Ogi lihat dengan mata kepala sendiri bahwa Zia maupun Edward masih sama-sama terpuruk. Dua-duanya belum selesai dengan luka masa lalu. Entah harus disembuhkan sendiri, atau justru akan lekas terobati jika mereka kembali bersama-sama lagi.

"Bang, mau sekalian aku bikinin jus nggak?"

Suara yang terdengar dari arah dapur membuat Ogi menoleh. Dia berjalan dari ruang tengah dan memindahkan sang anak ke pangkuan Key untuk disusui terlebih dulu. Ogi menyusul ke pembatas ruangan setelah panggilan Zia terdengar tadi. Dilihatnya Zia sibuk memilih buah di kulkas.

"Aku jus tomat aja deh," gumam Zia setelah beberapa saat. "Mau bikin buat Kak Key juga. Pengen jus stroberi katanya. Abang mau apa?"

Ogi masih berusaha meredakan hatinya yang galau gara-gara teleponan sama Edward tadi. Gini banget sahabatan dari lama. Saking taunya setiap perjalanan Edward yang jatuh bangun, sampai-sampai sedihnya Edward aja nular. Dia ikut patah hati rasanya.

"Bang Ogi?"

"Samain kayak Key aja," gumam Ogi pada akhirnya.

Zia mengangguk. Dia bersenandung lirih sembari menyiapkan peralatan. Dia ambil juicer dan mulai mencuci buah-buah. "Papa sama Mama belum balik ya, Bang?"

"Belum, Zi," jawab Ogi. Dia hanya lihat punggung adiknya. Tapi kalau nggak salah lihat tadi, Zia emang masih sembap banget. "Mungkin bentar lagi."

"Keren sih, Bang, pabrik yang baru. Makin banyak aja yang taken kontrak kerja sama," puji Zia. "Gedungnya kekinian banget, lagi. Dilihatnya jadi lebih menonjol, futuristik, menjanjikan."

"Iya. Papa juga sadar sejak ada pembaruan struktur bangunan yang sebelumnya kuno, jadi banyak yang ngelirik abis diubah."

"Arsiteknya siapa sih, Bang? Kece banget."

"Edward."

Ogi sangat sadar keterdiaman mereka yang tiba-tiba. Yang tadinya Zia mencuci buah-buahan di air mengalir dari keran, kini benar-benar membeku. Bahkan aliran air terdengar keras tanpa jeda karena dibiarkan dalam beberapa menit saat Zia masih membeku.

"Kamar kamu udah kembali kayak dulu, Zi," mulai Ogi dengan kalimat pembuka. Pelan dia mendekat ke adiknya. "Udah nggak ada barang-barang dari Edward kalo emang itu alasan kamu nggak betah di rumah. Edward juga nggak pernah nyari tau tentang kamu lagi lewat Abang. Dia udah sadar diri sejak kamu ngatain dia banci. Bahkan kalau kamu mau tau ... Abang sama dia juga nggak ketemu selama satu setengah tahun. Baru ketemu lagi kemarin di resepsi Abang."

Lop Yu, Om!Donde viven las historias. Descúbrelo ahora