50. Demi Zia

8.7K 955 194
                                    

Karena komen kemaren rame jadi ku-up lagi yuhuuu

Btw, part 60 dah ada di KK. Mo kelar di sana awokwok

🧚🏻🧚🏻

"Tell me you're sure, Ed."

Edward mengetatkan genggaman kedua tangannya. Dia menatap taman hijau yang rumputnya sedang disirami oleh para maid di rumah besar itu. Tubuhnya yang tersandar di railing balkon seketika menegang saat tahu maksud pertanyaan Albert. "I think I'm healed."

"You think?" Albert mengonfirmasi karena jawaban Edward terdengar meragukan.

Edward meraup udara sebanyak-banyaknya untuk memberi keyakinan pada diri sendiri. "It doesn't hurt anymore. I'm healed."

Albert terdiam mendengar kakaknya yang terus menggaungkan bahwa dirinya telah sembuh—dari takut, ketidakberanian, dan kecemasan—pada hal-hal yang menyangkut penerbangan. Edward memang pernah menjalani pemulihan tentang itu. Dulu, bertahun-tahun lalu. Dan sesuai harapan, Edward tidak lagi menganggap bahwa suara pesawat yang terkadang melintas di atas kepala adalah suatu hal menakutkan.

"Perlu aku temani?" tawar Albert pada akhirnya. Dia ragu karena jawaban Edward pun nggak meyakinkan.

Edward menggeleng pelan. "Aku cuma perlu terbiasa flight lagi, Al." Napasnya terembus berat. "Udah enam tahun ...."

"Mungkin ... nggak langsung flight, Ed?" Albert menanyakannya pelan sekali. Edward memang harus terbiasa, tapi bukan berarti langsung menaiki pesawat kan? Kakaknya itu harus memulai dengan membiasakan diri di tengah suara-suara pesawat, hectic dan crowded-nya suasana airport di beberapa waktu, atau sekadar flight information board yang dulu hanya dengan melihatnya saja Edward gemetaran.

Apa hal-hal sederhana itu udah mampu Edward kendalikan? Kalau belum, apa nggak terlalu berisiko jika Edward menemui semua ketakutan itu dalam satu waktu secara bersamaan?

"Aku nggak apa-apa, Al." Edward menoleh ke Albert kali ini, senyum kecilnya tersungging. "Don't mention it."

Albert mengangguk mengerti. Kalau Edward sudah bertekad, maka dia nggak bisa apa-apa.

"Can't you see I'm doing everything for her? I'll do anything I can."

Albert terkekeh melihat bagaimana cara Edward meyakinkan diri sendiri bahwa ini semua untuk Zia. Khas cara Edward mencintai seseorang, tidak pernah setengah-setengah, semua dilakukan meski harus mengorbankan banyak hal. Albert hanya berharap Edward telah cukup dewasa dengan hubungan yang kali ini. Cinta memang membuat semua orang jadi lupa bahwa kebahagiaan diri sendiri juga perlu. Albert berdoa semoga ketulusan dan cinta Edward tepat sasaran. Dia nggak mau melihat kakaknya terpuruk jatuh dan jauh lagi.

"Dia ulang tahun dan aku nggak mungkin diem aja kayak orang bodoh di sini." Edward menyempatkan tertawa hanya untuk meyakinkan diri lagi, yang kesekian kali.

Edward yakin, tapi jujur dia gelisah. Tidak ada keberanian utuh yang dia punyai. Hanya berbekal demi Zia, Edward merasa telah bisa melewati semua ketakutan. Dia tau Zia nggak akan memaksakan Edward harus ada di sana. Tapi menurutnya perlu. Ini keharusan.

Dua malam berturut-turut Edward berpikir keras, sempat ingin membatalkan rencana menyusul. Tapi dia terus teringat wajah Zia saat mereka video call malam itu. Senyumnya, tatap berbinarnya, cara Zia merespons kalimat Edward dan tidak membuatnya kehabisan bahan obrolan. Bersama Zia, semua terasa membahagiakan. Rindunya bahkan sudah lebih dari menyiksa.

Edward memang tidak tahu apakah dia akan berhasil sampai di hadapan Zia, atau justru kembali ke tempat ini dalam keadaan tak sadarkan diri. Ada sedikit takut, tapi rasa rindu dan keharusan ada di sana membuat Edward mengenyahkan apa pun itu.

Lop Yu, Om!Where stories live. Discover now