37. Sisa Kndm

10.2K 872 197
                                    

Sisa apa?
Kndm☺️

Anw, part 48 udah update duluan di KK. Cus yang kepo✌🏻

Happy reading cindahh. Komennya jangan lupa banyakin, biar seminggu bisa 2x up xixi.

🧚🏻🧚🏻

"Kenapa kok tiba-tiba nggak mood buat jogging, Zi?"

Itu sudah pertanyaan kesekian kali dari mulut Edward. Tapi Zia tetap jawab dengan kalimat sama. Katanya mendadak laper banget. Padahal Edward tau alasan Zia kayak gini karena dengar telepon dari Gyna tadi.

"Beneran laper?" Edward mengonfirmasi jawaban Zia yang nggak berubah dari awal.

Zia mengangguk. Dia mengusap perutnya. "Beneran, Om. Aku laper banget. Semalem kan nggak jadi makan."

"Kalo beneran laper, kamu harusnya nggak nolak sarapan sama saya."

"Aku nggak nolak kok." Zia meringis. Dia memakai seatbelt. Iya, niatnya emang ke jogging track tapi malah belok ke basement apartemen buat cabut aja. Gara-gara dengar ucapan Gyna waktu teleponan sama Edward tadi. "Ayo, Om. Mau sarapan di mana?"

Edward mengamati gadis di sebelahnya yang terlihat baik-baik saja. Dia nggak bohong kalo bilang lebih suka Zia bicara terus terang tentang apa yang dirasa. Bukan malah tersenyum begini tapi dalam hati pasti menyimpan banyak sekali tanya.

"You okay, Zi?" tanya Edward dengan pelan. Tatapnya begitu serius, menyiratkan kalau dia ingin jawaban yang serius juga.

Tapi Zia masih tetap sama, mengangguk santai seolah tidak tau kalau Edward menanyainya benar-benar.

Karena itulah Edward hanya bisa menekan ego dan meninggikan kesabarannya. Mewajarkan banyak hal tentang sikap Zia. Tentang gadis itu yang masih sulit untuk membuka diri. Tentang bagaimana tertutupnya Zia tiap kali ada yang mengganjal di pikiran. Membuat Zia jadi sulit tertebak. Edward perlu belajar sangat banyak.

"Mau saya peluk?" tawar Edward. Dia hanya bisa memastikan dengan hal ini. Kalau Zia mau, artinya mood gadis itu emang nggak terlalu buruk. Tapi kalau nolak kayak biasanya, berarti ada apa-apa.

Di luar perkiraan, Zia mengangguk sembari melepas seatbelt dengan tergesa. Bahkan Edward belum mampu berpikir apa pun ketika Zia sudah menubrukkan diri di pelukannya. Sejenak Edward tertegun. Ini pertama kali Zia memeluknya lebih dulu.

"Ada apa? Kenapa?" bisik Edward setelah melingkarkan lengannya di tubuh Zia. Sekejap dikecupnya kepala Zia dengan pelan sebelum menyandarkan dagunya di sana.

"Nggak apa-apa. Pengen peluk aja." Suara Zia teredam pelukan.

Edward tersenyum. Telapak tangannya nggak berhenti naik turun membelai belakang kepala Zia dengan sayang. "Saya cuma mau bilang, jangan khawatirkan apa pun. Saya nggak semudah itu bisa ninggalin kamu."

Zia mengangguk pelan. Dia percaya. Setidaknya walaupun perasaan Edward nggak sama seperti apa yang dirinya rasa, tapi lelaki itu punya sikap yang sangat bertanggung jawab. Zia percaya Edward bisa memenuhi ucapan-ucapannya sendiri. Sebagai kakak, tentu saja.

"Saya batalin persetujuan tentang ajakan dinner keluarga Gyna," ucap Edward tiba-tiba.

"Kok gitu?" Zia menjauhkan wajah, kali ini mendongak menatap Edward.

"Saya nggak mau kamu nggak nyaman sama ini."

"Kata siapa?" dengus Zia.

"Terus apa alasan kamu tiba-tiba diem kalo bukan karena denger telepon Gyna tadi. Hm?" tantang Edward. Meminta Zia menjelaskan.

Lop Yu, Om!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang