17. Janji Laki-Laki

8.7K 1.1K 259
                                    

Yang udah baca part ini di KK minggu lalu boleh bom komen di sini nih soalnya di sana ku-nonaktifkan hehe. Lanjutannya di sana besok ya (kalo gak molor ✌🏻)

Btw

evishakila
yoonaila
se_renaipeh

ini tiga orang kukasih voucher buat baca fast access di Karyakarsa part 18 yaw, nanti ku-inbox. Soalnya kmrn dah effort ngitung semoga nggak diajak. Kok bisa diitung beneran siihhh. Gemec🤧😭

Okelah selamat membaca xixi

🧚🏻🧚🏻

" ... Oke, Zi?"

Mendadak otak Zia nge-blank. Napasnya tercekat. Doa-doa yang dia harapkan dikabulkan karena merasa jadi orang yang baru tersakiti—apalagi dua malam ini kadang masih menangisi nasib—ternyata nggak sesuai harapan.

Keterdiaman dan kekagetan Zia mungkin dikenali tanda-tandanya sama si abang. Buktinya Ogi langsung mengernyit heran sampai mutar duduk ke arah si adik. Ponsel dia jauhkan sebentar di belakang tubuh.

"Kenapa? Kamu nggak bisa?" bisik Ogi.

Zia berusaha menguasai kekagetan. Bayangin, tadi merem sambil komat-kamit baca doa sepanjang itu, ujungnya ditodong dengan kebalikan dari keinginannya. Dia jelas shock.

"Ehm, Ma." Ogi tidak menanyai adiknya lebih lanjut. Sekarang ngomong lagi di ponsel. "Kalo Zia sih nanti tergantung bisa atau nggaknya. Kayaknya ada acara sekolah."

"Oh ada acara sekolah? Acara apa? Pentas kelulusan? Bukannya masih lama?"

"Kan perlu latihan, Ma. Siapa tau ada pentas seninya." Ogi ngeles. Dia melirik Zia yang menatapnya dengan puppy eyes. Berterima kasih banget keliatannya atas bantuan Ogi.

"Ya gampang nanti kabarin aja sebisanya kapan."

"Maksudnya?" Jangan bilang usaha Ogi sia-sia!

"Sebisanya adik kamu, Gi."

Kan kan kan ....

Ogi dan Zia sama-sama berpandangan. Bingung. Biasanya berkongsi untuk menyelamatkan satu sama lain, ini malah gagal. Gawat.

"Kalau Papa, Mama, kamu kan gampang. Selama nggak di jam kerja dan nggak lembur pasti bisa. Tinggal sesuaikan sama Zia. Dia yang masih sering acara dadakan main ke mana-mana."

"Kalau misal ... tanpa Zia emang nggak bisa, Ma?" Ogi bertanya hati-hati. Takut ketauan niat terselubungnya untuk melindungi sang adik yang menolak ikut.

"Kasian dong adik kamu. Lagi pula Tante Valen masih ingat loh sama Zia. Kemarin sebutin lengkap; Mama, Papa, Ogi, Zia. Mama yang nggak enak kalau Zia nggak ikut, Gi. Beliau juga bilang atur jadwal selonggarnya keluarga kita aja katanya. Mereka menyesuaikan. Jadi sungkan di Mama kalau sampai keluarga kita ada yang nggak datang."

Ogi memijit dahinya. Kalau ini sih udah final. Mau dihindari sejauh apa pun tetap aja Zia harus ikut. "Ya udah, Ma. Nanti sesuaikan sama Zia aja."

Giliran Zia yang panas dingin. Besok malam? Besok banget? Nggak, nggak bisa. Dia harus ritual apa coba buat menghilangkan perasaan dalam waktu dua puluh empat jam? Hilang ingatan? Astaga, nggak lah. Dia masih waras dan mau doa yang baik-baik aja.

Tapi ... ini nggak bisa dibiarin. Paling susah pura-pura menghindari orang yang disuka padahal ada di dekatnya. Dia pilih nggak ketemu sama sekali daripada saling abai padahal ada di depan mata.

Lop Yu, Om!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang