16. Semoga Nggak Diajak

8.4K 1.1K 311
                                    

Kembali ke setelan pabrik, tengah malem lagi cuy update-nya. Okelah baca dengan saksama, okesip.

🧚🏻🧚🏻

Kalau ada nominasi hari terngenes sepanjang perjalanan hidup Zia yang hampir 19 tahun, maka dia tidak ragu-ragu menempatkan hari ini sebagai pemenangnya. Secara sadar confess padahal tau pemilik hatinya nggak punya rasa yang sama, belum lagi ekspresi kaget Edward sekarang.

Tapi Zia harus bersyukur karena raut wajah Edward yang kaget dan geleng-geleng kepala seolah tidak percaya, itu memang yang diharapkan. Edward pasti mengerti dan lebih bisa menjaga jarak kalau tau perlakuan manis yang diberikan adalah hal yang salah. Karena nyatanya Zia nggak berpikiran hal yang sama, untuk menganggap hubungan mereka sekadar kakak-adik. Sakit, tapi mau gimana lagi. Zia sadar diri dan posisi.

"Su ... ka?"

Zia makin mengetatkan pegangan jemari di pinggiran piring mendengar suara Edward yang tercekat. Baru kali ini juga mendapati kulit wajah lelaki itu pucat pasi.

Tapi Zia bukan orang yang suka menolak kenyataan. Jadi walau tau ujungnya gimana, dia tetap teguh pendirian. Kalau Edward butuh dijelaskan lagi, maka akan dia utarakan lebih detail.

"Iya. Bukan cuma suka." Suara Zia gemetar. Dia menatap Edward dengan sisa-sisa keberanian dan rasa malu yang hampir menipis. Berusaha ditepis habis tapi gagal begitu lihat kedua mata Edward yang terpaku, dan gerakan jakun yang seperti kesusahan menelan saliva. Susah juga berkata-kata. Membuat Zia juga terbata. "Tapi ... juga ... sayang, cin ... ta. Bukan cuma adik ke kakak. I-iya, maksudku ... itu."

Jantung Zia seakan merosot setelah mengakhiri aksi terberaninya sepanjang hidup. Ini bukan cinta yang pertama kali dia rasa. Zia remaja pada umumnya yang sering kagum pada cowok-cowok di sekolahnya. Entah itu yang pandai di akademik, pintar dalam olahraga, maupun yang ber-title cowok nakal tapi gentle. Zia pernah dalam masa-masa mengagumi.

Juga dalam hal berpacaran, Zia pernah melaluinya. Satu kali menjalin hubungan. Sisanya hanya saling suka dan nge-date tanpa hubungan yang jelas. Tapi dari semua pengalamannya, tidak ada yang dimulai olehnya sendiri, apalagi jatuh cinta sepihak. Tidak ada. Cinta Zia selalu berbalas sejauh ini.

Cuma dengan Edward Zia tau definisi jatuh cinta sendirian. Kalaupun diteruskan juga percuma. Mereka beda jauh. Bukan cuma umur, tapi pandangan, cara pikir, pokoknya banyak. Zia tau itu nggak mudah.

"Astaga," keluh Edward setelah ketegangan cukup lama. Setelah kesusahan mengatur napasnya sendiri, satu kata itulah yang berhasil melunturkan segala kekagetan yang menyerbu, juga rasa panik yang menyerangnya saat ini.

Zia menyadarinya. Edward terlihat resah. Membasuhkan dua telapak tangan sebelum mengacak rambutnya sendiri dengan gusar. Tatapan Edward memang tidak bisa Zia lihat karena lelaki itu menghadap depan, tapi siapa pun yang perhatiin reaksi Edward sekarang pasti paham kalau suasana hatinya sedang tidak baik.

"Cinta kata kamu?" gumam Edward. Kini menumpukan dua siku tangan ke atas lutut, membuat tubuhnya menunduk namun kepalanya tertoleh pada Zia.

Sakit. Itu yang menggambarkan hati Zia sekarang. Sebelumnya dia pikir lega udah ungkapin, tapi saat Edward menatapnya dengan tajam, lalu berubah jadi senyum miring dan decihan ringan, Zia merasa direndahkan.

"Kamu tau apa sih tentang cinta, Zi?"

Hati Zia bukan hanya sakit, tapi jatuh, diinjak-injak, remuk.

"Anak kecil kayak kamu harusnya belajar aja yang rajin. Bukan malah cinta-cintaan."

Tangan Zia bukan lagi gemetar, tapi kaku. Buku-buku jemarinya memutih, dia merasa kebas dan mati rasa di dua telapak tangannya.

"Coba ... teman-teman kamu yang lain pasti pada sibuk persiapin diri masuk perguruan tinggi." Edward berdecak ringan. Sikapnya lebih santai sekarang, bersandar di sofa dan menaikkan satu kaki ke lutut. Tangannya juga ikut bergerak ke udara untuk menegaskan kalimat-kalimatnya. Meski sebenarnya tidak ada yang tau, dia kalut sendirian. "Jalanmu masih panjang. Selesaikan studi kamu, happy-happy di masa muda, baru berani cinta-cintaan."

Lop Yu, Om!Where stories live. Discover now