24. Ternyata Doyan

9.8K 1.1K 268
                                    

Emang warga wattpad gak bisa ditantang. Baru kedip udah tembus tuh target komennya wkwk

Part ini pendek juga. Bacanya dieja per huruf biar kerasa panjangnya. Happy reading 🤤

🧚🏻🧚🏻

"Pesan makanan pake hp itu aja, Zi."

Zia yang baru aja duduk di sofa apartemen Edward dan tadinya fokus memandang sekeliling, kini beralih ke sebuah ponsel di meja. "Om aja yang pesen."

Edward terkekeh. "Kamu aja. Itu nggak di-lock."

"Takutnya nanti ada yang telepon, penting."

"Nggak ada yang penting di hp itu, cuma hp cadangan." Edward melepas jas dan melonggarkan dasinya, lalu melepas satu kancing teratas kemeja. Gerah dan risih sedari tadi. "Pake aja. Itu hp cuma buat broadcast kerjaan sama buat remind kepala divisi, jadi jarang ada yang hubungi ke situ. Kalo urgent biasanya mereka hubungi ke nomor pribadi saya. Pesen makanan pake itu ya, sepengennya kamu. Udah saya isi saldonya juga. Saya mau bebersih dulu."

Zia menatap kepergian Edward ke sebuah sekat, sampai punggung itu nggak kelihatan lagi. Sebenarnya dia juga lapar. Tapi waktu di jalan dan ditawarin makan, Zia bingung jawabnya. Akhirnya mengiyakan tawaran Edward untuk pesan antar begitu sampai di apartemen.

Saat memberanikan diri ambil ponsel itu, Zia terkekeh. Beneran nggak di-lock coba. Se-enggak penting itu kayaknya harga diri si hp. Padahal waktu buka aplikasi pesan antar, saldonya nggak sedikit juga. Edward emang nggak takut duit segitu hilang kayaknya.

"Udah jadi pesan, Zi?"

Beberapa saat kemudian suara itu terdengar. Zia udah pilih-pilih menu, tinggal pesan aja. Matanya menangkap sosok Edward yang lebih segar, rambutnya basah. Bajunya udah ganti walaupun tetap aja pakai kemeja. Cuma beda warna aja.

"Seger banget kalo abis bebersih gini," gumam Edward setelah mendudukkan diri di samping Zia. Tubuhnya menyandar, satu lengannya terjulur melewati belakang tubuh Zia. "Sini deketan," suruhnya.

Zia menggeleng. Edward ini memang tipe laki-laki yang anggap hal seperti ini biasa ya? Contohnya waktu dulu di foodcourt. Sama perempuan lain.

"Ya udah nggak apa-apa." Edward nggak mau memaksa. "Tapi jadi pesan makanan kan?"

"Iya." Suara Zia masih nggak seceria biasanya.

Edward lagi-lagi menyadari itu. Pasti ada yang mengganjal di hati Zia makanya jadi diam. Untuk meruntuhkan kecanggungan mereka, Edward menyalakan televisi. Suaranya tidak begitu keras, tapi cukuplah untuk membuang sepi di antara mereka.

"Lagi mikirin apa? Saya boleh tau?" Sebisa mungkin Edward bersikap santai. Dia bahkan masih bersandar di sofa meski si tamu duduk tegak di sampingnya.

"Nggak kok." Zia menggeleng lemah.

Edward sedang berusaha keras untuk menyusun percakapan yang kiranya tidak akan membuat keduanya semakin jauh. Jadi dia tetap diam di tempat tanpa pergerakan meski ingin sekali bertatap mata dengan Zia, menyelami keresahan cewek itu, dan menebak apa sebenarnya yang Zia pikirkan sekarang.

Oh, apa mungkin sama seperti Edward belakangan ini. Memikirkan apakah mereka akan berhasil jika memulainya. Dan jika gagal, apakah keluarga mereka akan berhubungan dengan baik seperti semula? Banyak pertimbangan dan Edward mewajarkan kalau Zia memikirkan itu.

"Om ...."

"Iya, Zi?" Edward antusias banget dengar Zia memanggilnya. Tapi harus ditahan reaksinya agar Zia tidak memilih menyimpan kembali apa yang mau diutarakan.

Lop Yu, Om!Where stories live. Discover now