13. Gatel

9.3K 1.1K 291
                                    

Semoga narasi awal-awal ini gak di-skip ya biar kalian tau perasaan Edward yang sesungguhnya akan Gwen dan gak timbul pertanyaan "udah mupon belom si?" Xixi
Selamat membaca❤️

🧚🏻🧚🏻

"Itu alasan lo lebih sering clubbing akhir-akhir ini?" tanya Edward pada perempuan yang menatap kosong ke arah depan.

Tidak mendapat jawaban, Edward akhirnya mengulurkan tangan kirinya untuk merengkuh bahu Gyna. Mengusap dengan lembut untuk mengurangi keresahan perempuan itu. Beberapa saat dia menyadari Gyna menjatuhkan kepala di pundaknya. Tanpa pikir panjang Edward merapatkan pelukan. Dia memejamkan mata, ikut meresapi rasa hilang dan sepi yang baru Gyna ungkapkan.

"Gwen udah bahagia di sana, Gyn," ucap Edward. Dia menyentuhkan sebelah pipinya ke puncak kepala Gyna, saat sadar tubuh di pelukannya sedikit gemetar.

"Iya ... gue cuma ... nggak tau kenapa ... lebih sering keinget aja," balas Gyna, ucapannya terbata di antara deru napasnya yang masih dia coba tenangkan.

Edward sangat mengerti perasaan itu. Dari kecil, Gwen dan Gyna itu sepaket. Bagai pinang dibelah dua. Selain sangat mirip, mereka juga kerap ke mana-mana bersama. Gwen dengan sifatnya yang sangat mengayomi, dan Gyna yang pendiam, kurang bisa menyatu dengan dunia luar. Dua-duanya saling membutuhkan, saling melengkapi, separuh jiwanya Gyna adalah Gwen. Juga sebaliknya. Edward yang jadi saksi bagaimana interaksi kakak beradik itu.

"Wajar kalo tiba-tiba keinget. Tapi cuma kita yang bisa kontrol perasaan kita sendiri, mau sedihnya berlarut-larut tiap ingat, atau sebaliknya."

"Nggak mungkin kan gue malah ketawa-tawa kalo keinget kakak gue?" tawa Gyna terdengar parau, bercampur dengan air mata yang mencoba ditahan sekuat tenaga.

Edward mengeratkan pelukan. Di saat seperti ini, mereka memang harus saling menguatkan. Dia pernah melewati tahapan kehilangan seseorang. Penolakan, penyangkalan, marah atas takdir, ingin mempertaruhkan apa pun agar Gwen bisa kembali, sampai akhirnya bisa menerima.

Jadi sangat mengerti bagaimana susahnya Gyna meng-handle perasaannya sendiri. Gyna tidak punya siapa pun untuk menguatkan. Semua merasa kehilangan dalam waktu yang lama. Kedua orang tua, saudara, sama saja. Jadi Gyna pasti tertekan, selalu menguatkan orang tua di saat hatinya hancur.

Sedangkan Edward?

Dia mengakui masih punya orang-orang yang menguatkan karena rasa sedihnya tidak melebihi apa yang Edward terima. Keluarganya, sahabatnya, semua masih bisa Edward andalkan di saat paling terpuruk.

Memang nggak mudah Edward lalui, tapi buktinya dia bisa. Ke mana pun dia ingin, ada orang-orang yang siap menerima keluhnya. Papa dan Mama, adiknya, bahkan Ogi. Edward selalu mengingat orang-orang yang ada di saat dia putus asa. Mereka tidak ada yang protes akan hidup Edward yang berantakan tanpa tau arah. Mereka hanya membuka lengan lebar-lebar jika Edward butuh dikuatkan.

Itu alasan kenapa Edward menjadikan Ogi dalam prioritas hidupnya juga. Cuma sohibnya itu satu-satunya yang nggak lari waktu dia mirip orang gila.

"Lo bisa dateng ke gue kapan aja kalo butuh cerita, Gyn." Hanya itu yang bisa Edward lakukan. Dia mencoba mengerti posisi Gyna sekarang. Lukanya pasti lebih lama sembuh ketimbang Edward sendiri.

"Thanks." Gyna menjauhkan tubuh dari Edward, mengusap dengan kasar pipinya yang basah karena air mata. "Apa lo udah lupain kakak gue, Ed?"

Edward menunduk, menatap intens pada Gyna yang sedang menunggu jawabannya. Apa kalimat yang tepat untuk pertanyaan itu? Dibilang lupa, tidak mungkin. Tapi kalau terus mengingat sampai sedih berlarut, itu sudah tidak terjadi dalam kurun waktu bertahun-tahun.

Lop Yu, Om!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang