67. Peluk

10.1K 1.1K 298
                                    

Haloooo. Karena TAMAT makin dekat, ayo komen yang banyak wkwkwk.

Btw, yang di Karyakarsa udah tamat + 8 extra part (kurang 2), lanjutannya tungguin dulu ya, masih kurang dikiiittt, mau kubuat panjang soalnya. M

Happy reading❤️

🧚🏻🧚🏻

"If there's anything you need, don't hesitate to call me or any other nurse. We're here to help you."

Zia mengangguk pelan. Merasa lega karena sudah mendapat pelukan dari seorang nurse yang membantunya. Dia berterima kasih walau nggak mendapatkannya dari Edward karena nggak tau bagaimana cara meminta sebuah peluk pada lelaki itu. Rasanya sedikit nggak tau diri. Lagi pula Edward nggak mendekat sedikit pun sejak dia bangun tidur tadi.

Entah, mungkin Edward nggak mau ganggu Zia. Atau bisa jadi keberadaan lelaki itu hanya bentuk tanggung jawab karena Zia adalah adik dari teman dekatnya. Zia menggeleng, berusaha menetralkan pikiran-pikiran yang terlalu jauh. Apa pun alasan Edward menjaga jarak dan nggak beralih dari sofa di ujung sana, Zia harusnya nggak perlu ambil pusing.

Memangnya mereka ini apa? Nggak perlu Zia berharap banyak. Edward udah sangat bertanggung jawab sejak menemukannya pingsan. Itu pun Zia nggak inget dan nggak tau menahu alasan kenapa Edward tepat ada di sana.

Karena emang mereka belum bercakap banyak. Terakhir cuma semalem waktu Zia tanya apa Edward akan pulang? Jawaban itu masih menggantung, tapi Zia tau intinya Edward akan pergi kalau keluarga Zia datang.

Pandangan Zia mengikuti nurse yang berjalan ke pintu. Di sudut sana, Edward juga berdiri untuk mengantar wanita itu sembari berbicara beberapa hal. Zia cuma dengar kalau Edward berterima kasih.

Semua kembali seperti semalam. Diam, canggung, dan ... hening.

Zia mendapati Edward menatapnya sekilas sebelum duduk lagi di sofa. Kali ini membuka laptop. Yang nggak disangka, suara Edward terdengar kemudian.

"Saya cek kerjaan sebentar."

Beberapa jam baru mendengar suara Edward, Zia merasa haru. Walau mereka seperti terpisah jarak tapi hatinya tetap tenang menyadari bahwa Edward ada di sekitarnya. Perasaannya masihlah sama. Debarannya masih sekuat dulu saat pertama dia sadar ada cinta yang disimpan rapat untuk Edward.

Zia nggak mau lagi menyangkal bahwa usahanya satu setengah tahun terlalu dipaksakan. Bohong kalau dia lupa, naif kalau dia merasa mampu merelakan. Padahal di saat satu detik aja bayangan Edward muncul, Zia selalu memaksa menguburnya dalam-dalam.

Sekarang waktu dia sadar, yang terkubur itu seakan muncul ke permukaan dengan tak terkendali, membuatnya goyah. Ditambah kenyataan yang terpapar dari Ogi kemarin. Zia merasa ... kacau.

"Saya mau cek kerjaan sebentar."

Zia menahan debaran dadanya yang terasa menyesakkan. Ditatapnya Edward tepat di kedua mata yang membalasnya dengan datar, tanpa ekspresi. Mereka berpandangan beberapa saat. Dia baru sadar tadi belum jawab. Mungkin Edward kira Zia nggak dengar makanya diulangi. Kali ini Zia mengangguk pelan, menandakan kalau suara Edward sampai di telinganya.

Edward memutus pandangan lebih dulu, lalu memakai AirPods di telinga kanan. Cuma satu aja. Zia sadar diri kalau itu artinya Edward nggak mau diganggu. Edward pernah bilang nggak bisa bagi konsentrasi antara pekerjaan dan hal lain karena akan terdistraksi.

Tapi Zia mulai bisa menerima kebiasaan Edward yang itu, sedari hubungan mereka mulai terbuka. Lagi-lagi Zia didera haru dan sesak, mengingat bagaimana kisahnya harus berakhir kurang mengenakkan di saat keduanya sedang berusaha ke arah hubungan yang lebih baik.

Lop Yu, Om!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang