15. NGGAK BOLEH!!!

9.5K 1.1K 385
                                    

Hai, maaf lama😭
Dua minggu lebih ini riweuh karena itu ... anu ... apaya wkwk.

Belum diedit, maafkan typo-nya. Pokoknya selamat membaca☺️

🧚🏻🧚🏻

"Lusa aja, Zi."

"Tapi Mama pulang besok, Bang."

"Tapi keadaan kamu masih kayak gini masa nekat pulang?"

Zia terdiam. Dari tadi dia mengusulkan mau balik ke rumah aja mulai besok karena acara liburan orang tuanya udah selesai. Tau gini, dia iyain aja ajakan mamanya beberapa hari yang lalu buat ikut. Pasti ujungnya nggak terdampar di apartemen Ogi dengan hati yang compang-camping karena Edward.

"Abang takut dimarahin Papa, ya?" tebak Zia. Dia mengunyah lagi roti yang baru digigit satu kali.

"Bukan cuma itu. Abang nggak mau Mama khawatir liat keadaan kamu. Tau sendiri kalau Mama udah panik gimana. Nanti kalau Mama tau kamu pernah clubbing, makin ketat mereka larang kamu ke mana-mana."

Kalimat panjang lebar Ogi cukup masuk akal di otak Zia. Walau tau arti dari semua omong kosong tadi hanya satu; Ogi takut dimarahin kalo ketauan Zia clubbing.

"Tau gitu aku ikut Papa sama Mama aja kemaren," keluh Zia sembari menunduk, memainkan jemarinya. Ada penyesalan sedikit. Tapi waktu itu dia masih mager apalagi baru selesai ujian. Penginnya balas dendam tidur seharian. Siapa sangka ujungnya justru gagal tidur karena sosok bernama Edward.

"Beberapa bulan lagi juga kamu ada liburan ke luar negeri seangkatan, Zi. Sekarang istirahat aja yang cukup. Masih bersyukur kamu nggak perlu lagi belajar buat masuk perguruan tinggi."

Justru itu, Zia malah bosen. Nggak tau lagi hidupnya mau ngapain. Membuatnya terus keinget sama Edward kalau gini.

"Abang cek dulu kamu demam apa nggak." Ogi mendekat ke adiknya dan mengulurkan tangan. Terasa hangat dikit aja punggung tangannya di dahi Zia. Sama seperti beberapa jam yang lalu. Artinya keadaan Zia belum cukup membaik, cuma mendingan dikit.

"Nggak demam kok." Zia membalas lebih dulu. "Aku masih bisa dan mau makan enak. Abang aja yang keterlaluan cuma ngasih roti. Mana kenyang. Aku pengin nasi anget sama pepes ikan."

Ogi terkekeh lihat ekspresi cemberut adiknya. Apalagi sambil gigit roti dengan muka sebal yang tidak disembunyikan sama sekali. "Makan terus kerjaannya. Besok pagi Abang ajak kamu sarapan di luar."

"Malu, masih kayak gini mukaku." Zia menggerakkan rahangnya karena terasa sedikit kaku. "Kasih aja aku duit buat oplas, Bang."

"Sembarangan." Ogi melotot.

"Lama banget ini sembuhnya. Nggak sabar pengin main sama April. Di sekolah masih banyak temenku yang berangkat tau, Bang. Di sana lebih asyik. Di apartemennya Abang ngebosenin," keluh Zia lagi.

"Makanya sembuhin dulu itu alerginya. Kata dokter kan nggak lama, Zi. Asalkan nggak minum alkohol lagi."

Zia menggeleng. Sumpah dia kapok banget. Kalaupun dia harus milih minum alkohol demi dapatin Edward, maka dia akan pilih makan pepes ikan aja. Plus dapatin Edward sih kalau bisa. Hehe.

"Abang lihat juga udah agak mendingan. Tadi sore keliatan bengkak pipi kamu. Ini udah nggak." Ogi kembali memperhatikan wajah adiknya. Walaupun masih bentol-bentol merah tapi nggak separah tadi.

"Aku jadi jelek banget kayak ikan buntal pasti." Zia menggembungkan pipinya dan mengeluarkan napas dari sana, mirip ikan buntal kalo lagi mengempis.

"Siapa bilang adikku jelek? Cantik banget." Ogi mengusap pelan puncak kepala Zia.

Lop Yu, Om!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang