44. Ngajak Duluan

8.9K 889 126
                                    

Haiii, yg udah ku-DM buat baca bab 45 atau 46 terserah pilih part mana
Cek namanya di sini:
@AdorableJTea
@wandaft
@LenaandiPutri
@heyjustcallpretty
@gerrrrrr_
@SunDAEcrush1217
@mitta_qby

Happy reading.

🧚🏻🧚🏻

"Zi ...."

Udah nggak terhitung lagi berapa kali panggilan itu terdengar. Zia masih setia memeluk lututnya sendiri, membenamkan sebagian wajahnya di sana sembari menonton drama yang menguras air mata. Matanya sampai perih karena banyak menangis akibat sakit hati sekaligus menyaksikan kisah sedih di layar laptop.

"Zia ... Baby Zi ...."

Arg! Rasanya Zia mau nutup telinga sekuat-kuatnya. Padahal sebelum hadirnya seorang Edward yang memanggil dengan sebutan sama, Zia suka banget tiap dipanggil Ogi dengan cara seperti itu.

Tapi sejak Edward pakai Baby juga, Zia pengin paksa Ogi biar berhenti memanggilnya begitu. Yang ada dia malah nambah sedih. Hebat banget kehadiran Edward di hidupnya. Baru juga sebentar udah bikin semua berubah. Harusnya dia minta Edward yang ganti panggilan. Bukannya malah Ogi yang udah sejak dulu-dulu. Tapi mau gimana lagi, Zia nggak bohong kalau sekarang dengar kata 'Baby' bisa bikin hatinya nyeri.

"Abang punya kuncinya kalo kamu lupa."

Zia memejamkan mata beberapa saat. Dia meluruskan kakinya yang udah lama ditekuk dan terasa pegal. Dari mana abangnya tau kalo dia lagi nggak baik-baik aja? Tiga hari ini dia bersikap biasa. Makan, tidur, jalan-jalan. Nggak ada kesedihan yang dia tunjukkan. Kalau papa mamanya tanya kenapa matanya sembap, dia jawab abis nonton drakor yang sedihnya mengiris-iris hati, menusuk-nusuk jantung. Pokoknya dia lebih-lebihkan biar percaya.

Tapi sepertinya tidak. Karena hadirnya Ogi udah pasti adalah tanda kalau orang tuanya udah habis akal tanya-tanya kenapa Zia begini dan begitu. Zia emang tipe anak yang kadang malu kalau cerita tentang percintaan ke orang tua. Apalagi umurnya masih belasan dan belum saatnya. Malu aja. Kalo sama Ogi dia lebih terbuka.

"Zi, cepetan! Abang kebelet boker!"

Zia nangis tapi sambil ketawa. Getir. Nyesek banget. Lagi ngusir sisa sedih malah omongan abangnya kurang ajar. Akhirnya dia bangkit tanpa menutup laptop. Biar nanti abangnya tau kalo dia sembap karena nonton drama korea.

Setelah mengusap wajahnya dengan telapak tangan dan memastikan nggak ada lagi air mata yang keluar, Zia melangkah ke pintu. Begitu dibuka, udah ditebak ekspresi Ogi cuma mengernyitkan dahi.

"Nggak jadi boker deh. Adeknya Abang abis nangis bombay." Ogi nyelonong masuk.

Zia membalikkan tubuh dan mendapati Ogi menggeledah kasurnya. Berasa lagi sidak. Saat menemukan tontonan di layar laptop, seketika Ogi berdecak.

"Gini nih cewek. Kalo lagi sedih bukannya cari penghiburan malah cari cara biar makin sedih. Kamu kalo lagi happy aja bisa nangis nonton drakor, Zi. Ini lagi sedih malah ditambahin."

"Itu nggak sedih banget kok, Bang." Zia pembelaan. Suaranya terdengar serak. Dia emang jarang ngomong akhir-akhir ini. "Aku ... gabut."

Mendengar suara Zia yang melirih di akhir, Ogi jelas peka. Dia menatap adiknya dengan intens. Zia berdiri dan membasuhkan punggung tangan ke sudut mata. Bibir bawah itu tergigit seolah menahan tangisan. Ogi menghela napas dengan pelan. Ini sudah dibayangkannya bertahun-tahun lalu. Gimana kalau Zia merasakan patah hati untuk pertama kali. Janjinya dari dulu tetap sama. Dia akan ada kalau saat itu tiba.

"Sini Abang peluk." Ogi melebarkan lengan, berjalan sangat pelan mendekati adiknya. Tanpa dia sangka, tangis Zia langsung pecah. Seolah beberapa detik terakhir ini menahan kuat-kuat tangisannya. Dan sekarang adiknya itu berjalan tergesa menghampiri. Menerima pelukannya dengan air mata yang sudah meleleh.

Lop Yu, Om!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang