Pukul 2 Subuh

201 8 6
                                    

Seoul, 27 October. 02:47 AM

“Baru datang?”

Kulihat dia baru saja melepas mantel musim gugurnya saat memasuki Rumah. Dia menyerahkannya padaku. Tampak sekali raut lelah tergambar di wajahnya. Namun dia hanya menjawab pertanyaanku dengan senyumnya.

“Kamu sudah makan? Biar kusiapkan untukmu”

“Tidak usah” Jawabnya cepat.

   "Tapi-"

   "Sudah terlalu larut untuk makan malam." Dia tersenyum.

Dia menahan tanganku yang terayun ketikaku melangkahkan kaki ke dapur. Aku memutar kepala menatapnya. Aku tidak terlalu tahu apa maksud dari perbuatannya.

“Apakah Oppa memarahimu?”

“Sedikit”

Aku menghela nafas. Aku tidak terlalu tahu dengan urusan pekerjaan mereka. Tetapi sepertinya Ceo dan Managernya selalu menyalahkannya. Terutama seseorang yang hanya mau kupanggil Oppa.

  Setiap kali dia pulang kerumah tidak pernah sekalipun dia bercerita tentang Oppa yang memuji hasil kerjanya. Dia selalu mendapat marah dari laki-laki yang berusia hanya 4 tahun lebih tua darinya itu.

“Apakah itu menyulitkanmu?”

“Tidak ada yang perlu kau cemaskan”

Dia menyisir rambutnya yang berantakan. Ekspresinya terlihat seperti orang yang frustasi. Aku sangat kasihan melihatnya yang seperti ini. Aku berjinjit. Kuangkat daguku menyapa pipinya sekilas. Dia menatapku. Mungkin terkejut karena sangat jarang aku mau menciumnya. Tetapi kini aku melakukannya.

“Cepatlah kau mandi. Aku akan siapkan kopi untukmu’’

“Terimakasih”

Dia menangkup telingaku mencium keningku lama. Lebih lama dari biasanya. Kemudian dia berlalu ke kamarnya untuk mandi. Andai dia tahu sebenarnya aku ingin dia terus menangkup kepalaku seperti tadi. Tetapi mungkin dia tidak tahu.

-----

Seoul, 28 October. 02.53 AM

Aku merasakan seseorang duduk disampingku. Dia memang tidak berbisik, bahkan berbicara mungkin tidak. Tetapi aku bisa merasakannya. Kubuka mataku dan kutemukan dia yang memang duduk disampingku. Aku tersenyum padanya sekilas. Dia juga tersenyum padaku.

“Apa aku membangunknmu?” Tanyanya.

“Tidak. Aku kebetulan terbangun” Jawabku dusta. Tentu saja dia membangunkanku. Aku bahkan akan selalu terbangun dari tidurku yang nyenyak ketika dia memarkir mobilnya di dalam garasi yang berada di lantai bawah.

“Kenapa tidur disini. Apa kau lelah?” Kali ini dia yang berganti bertanya padaku.

“Tidak juga” Senyumku samar.

Dia mengusap kepalaku. Aku kembali tersenyum. Sebuah senyum yang dipaksakan. Tapi sepertinya dia tidak menyadarinya.

“Apakah kamu tadi menungguku?”

Tentu saja aku menunggumu. Tapi aku hanya kembali tersenyum.

“Aku mencintaimu. Dan yang harus kamu tahu, aku akan selalu mencintaimu. Selamanya.”

-----

Seoul, 29 October. 02.59 AM

“Bangun,”

Aku bisa mendengar dia yang berbisik ditelingaku. Aku menggeliat sedikit. Kubuka mataku dan kutemukan dia yang menatapku. Aku tidak bisa berbohong saat ini. Aku tidak bisa menciptakan senyum dibibirku seperti biasa.

“Apakah sudah pagi?” Tanyaku.

“Pukul tiga subuh” Jawabnya.

“Kamu tidak tidur?”

“Aku harus membangunkanmu dulu sebelum aku tidur”

Dia turun dari bangkunya. Dia menyodorkan lengannya berharap aku akan mengaitkan tanganku padanya. Tapi tidak. Aku tidak bisa melakukannya. Tubuhku terlalu lemah untuk hanya mengangkat tanganku dari meja dapur. Dia menatapku. Kini di wajahnya yang bersih kulihat kekhawatiran tergambar disana. Dia kembali menghampiriku. Duduk kembali di kursi yang tadi di dudukinya.

Dia kini menggenggam tanganku erat. Matanya tak lepas menatap mataku. Aku bahkan baru menyadari kalau kepalaku masih kuletakkan diatas meja saat dia menangkupkan telapak  tangannya di telingaku dan menyandarkannya di bahunya. Aku kini tidak bisa melihat wajahnya. Hanya aroma harum dari tubuhnya yang terus tercium oleh hidungku.

“Aku mencintaimu selamanya”

Dia kembali mengusap kepalaku. Terasa sangat menyenangkan untukku. Namun sepertinya aku tidak bisa. Aku sangat merasa bersalah padanya. Sangat menyesal. Aku harus pergi. Dan dia tidak akan mengetahuinya. Maafkan aku. ‘aku akan selalu mencintaimu sampai kapanpun’ ucapku dalam hati berulang kali.

“Aku mencintaimu”

Tangannya yang mengusap kepalaku terhenti. Lalu turun berganti mendekap bahuku. Dan satu hal yang kuingat. Aliran air matanya jatuh di telapak taganku. Dan perlahan bahunya bergetar.

‘Maafkan aku yang selalu membohongimu dengan selalu mengatakan aku baik-baik saja, padahal aku sangat tersiksa dengan adanya penyakit ini di tubuhku. Aku egois, ya, aku tahu itu. Tapi aku melakukannya karena aku sangat mencintaimu, dan tidak ingin membuatmu bersedih. Kalau sekarang kamu menangis, aku harap besok kamu akan tersenyum. Jangan lupakan aku. Seseorang yang selalu menunggu kepulanganmu di jam yang sama setiap harinya.
Aku mencintaimu’

I love You, I'm SorryWhere stories live. Discover now