Seongho

128 6 1
                                    

Kemana orang yang sudah mati pergi?

Aku selalu bertanya-tanya tentang itu setiap harinya. Sudah sangat lama aku terus memikirkan pertanyaan yang bahkan tidak akan ada jawabannya tersebut. Aku tahu akan sia-sia saja aku tetap menunggu jawaban dari pertanyaan yang selalu ku penasarani tersebut, namun anehnya aku tidak bisa membuat otakku berhenti berfikir tentang itu.

Dua tahun yang lalu, seseorang yang kukenal sangat baik membuatku berfikiran untuk mengetahui tentang hal itu.

Kemanakah orang yang sudah mati pergi?

Mengapa sangat banyak orang yang ingin pergi kesana?

Apakah dengan pergi kesana seseorang dapat menemukan kebahagiaan mutlak seperti yang diinginkannya?

Sebegitu indah-nyakah tempat itu sampai banyak orang menyerah pada kehidupanya dan lebih memilih untuk pergi kesana?

Bahkan aku sering melihat orang dewasa berfikiran untuk melarikan diri dari kejamnya hidup dengan megakhiri hembusan nafasnya hanya untuk bertemu dengan tempat itu. Banyak berita di televisi yang menayangkan hal seperti itu. Ada banyak cara yang bisa dilakukannya. Aku tidak ingin menyebutkannya, tapi kurasa-pun hal itu sebenarnya sangat sia-sia. Bukankah dia hanya akan menerima kesakitan saat perlahan nafas itu melewati hidungnya untuk kali terakhir?

Tapi satu yang tetap menjadi pertanyaan tidak terpecahkan untukku.

Mengapa para Dokter sekalipun lebih memilih menyuruh keluarga seseorang yang sedang dalam keadaan kritis untuk menyerahkan semuanya pada Tuhan dari pada terus berusaha untuk menyelamatkannya?

Aku memang tidak tahu tentang kedokteran, tapi kurasa itu tidak benar. Bukankah lebih baik kalau terus menyemangati keluarga pasien dengan perkataan halus yang dapat menenangkan dari pada mengatakan kalau hanya Tuhan yang bisa menjawab keadaan kritis itu? Meskipun itu sebenarnya adalah kebohongan.

Ya, aku menyalahkan mereka yang selalu mengatakan kalau mereka telah berusaha keras namun tidak bisa menentukan hasil, seperti halnya para Dokter itu. Aku lebih senang pada orang-orang yang terus menaruh harapan bahkan pada keadaan yang sangat mustahil sekalipun. Karena aku selalu ingin melihat senyum semangat mereka daripada air mata penyesalan yang hanya menyakiti semua orang, entah itu yang mengalaminya ataupun orang yang hanya melihatnya.

Mungkin aku terlalu egois berkata seperti ini, tapi aku seperti ini bukan karena tanpa sebab. Temanku. Dua tahun yang lalu. Saat kenyataan pahit itu harus diterimanya. Hal itulah yang membuatku sangat membenci orang-orang tidak berperasaan yang hanya mengatakan hal-hal tidak berguna seperti itu.

Dia, satu-satunya temanku yang bisa kuajak bicara. Bukan bicara seperti kebanyakan orang lain. Aku bisa membaca hatinya dengan baik meskipun dia tidak mengatakannya. Dia butuh sandaran untuknya terus menatap indahnya langit biru yang selalu menaungi kehidupan dibawahnya. Tidak banyak yang dia minta, hanya satu. Mengerti apa yang ia rasakan, bukan yang ia katakan.

Namanya Seongho.

Dua tahun yang lalu dia adalah seorang yang tidak pernah memperlihatkan bibir datarnya pada orang lain. Seolah tidak ada hal lain yang lebih menarik untuk dilakukannya selain tersenyum. Menyapa orang lain entah itu dikenalnya atau tidak seolah sudah menjadi kewajiban tidak tertulisnya.

Namun hari ini, dan entahlah sampai kapan tidak akan pernah ada sosok seperti itu lagi. Seongho yang dulu selalu ceria sudah hilang. Sejak kejadian dua tahun lalu. Tahun yang seharusnya menjadi kenangan paling indah yang ingin di ingatnya. Tapi pada kenyataannya, hari itu justru menjadi hari terburuk yang pernah hadir dalam ingatannya.

“Aku tidak pernah mengharapkan hal lain. Hanya cobalah untuk merelakan apa yang telah terjadi waktu itu.”

Hanya itu yang kubisa. Terus mengulang perkataan yang sama. Entah dia mendengarnya atau tidak, yang pasti sudah dua tahun lamanya aku selalu mengatakan hal itu setiap kali bertemu dengannya. Meskipun tidak setiap hari aku bisa bertemu dengannya, tapi setiap kali aku melihat matanya pasti ada kesedihan yang semakin membebaninya. Terlihat sangat jelas pada mata bening itu.

I love You, I'm SorryWhere stories live. Discover now