Wedding Day

23 3 0
                                    

Thank U buat kalian yang udah mampir.
Hope you enjoy reading^^

Kupandangi pantulan diriku pada cermin panjang yang menampilkan tampilan ku dari ujung kepala sampai kaki. Sebuah gaun putih panjang membalut tubuhku. Gaun idaman yang selalu kubayangkan akan seperti apa ketika aku memakainya. Cantik. Indah. Elegan. Mewah. Tapi tetap anggun. Entah dengan kalimat pujian seperti apa yang mampu menggambarkannya.

Nyatanya tidak seperti yang kubayangkan. Sangat berbeda. Indah. Tentu saja. Gaun mahal yang di pesan sendiri oleh Seungbo tidak mungkin hanya biasa saja. Dia tahu aku tidak menyukai pernah pernik berkilauan yang memenuhi sepanjang gaun. Aku bahkan pernah berkata padanya kalau lebih menyukai kain polos dibanding bermotif. Karenanya dia memilih gaun ini.

Gaun putih polos tanpa hiasan apapun. Hanya helaian kain tipis melapisi dada sebagai hiasannya. Aku tidak suka dres panjang dan ketat yang membatasi kakiku berjalan jadi Seungbo memberiku gaun dengan rok panjangnya yang lebar. Dia juga tidak membuat ekor pada gaunku karena aku tidak pandai memposisikan kakiku supaya tidak menginjaknya.

Ya. Itulah gaun pengantin yang sedang kupandangi ini. Gaunnya sangat indah namun terasa kosong ketika kulihat akulah yang sedang memakainya. Teringat kembali olehku alasan Seungbo menuruti permintaanku. Dia terpaksa. Dia tidak benar-benar menginginkan ini. Apakah dia akan bisa bahagia? Satu-satunya yang ku takutkan adalah merampas kebahagiaan miliknya.

"Seungbo, apa kau bahagia menikahiku?"

Pertanyaan yang kulontarkan pada pantulan diriku dalam cermin. Tentu saja tidak ada jawaban karena aku hanya diam. Aku tidak akan pernah tahu jawaban apa yang akan Seungbo berikan padaku. Dia tidak pandai berbohong tapi juga tidak pandai mengatakan kata hatinya dengan jujur. Dan kalaupun dia menjawabnya sudah pasti itu bukan seratus persen sama dengan apa yang ada dalam hatinya.

"Apakah sudah sangat terlambat kalau aku mundur sekarang?"

Aku tidak menghitung sudah berapa kali kata itu lolos dari bibirku. Gumaman ragu yang hanya didengar telingaku. Ruangan ini kosong hanya ada diriku. Masih setia meneliti diriku sendiri melalui pantulan cermin.

Harusnya hari ini adalah hari paling membahagiakan. Semua wanita diluar sana pasti setuju dengan ungkapan itu. Hari dimana akhirnya dia akan membuka lembaran baru dalam perjalanan hidup. Membuat keluarga baru bersama orang yang dicinta. Begitupun denganku. Kalau ada orang bertanya apakah aku mencintainya? Apakah aku ingin menjadikannya panutan dalam sebuah keluarga kecil yang bahagia? Aku akan dengan percaya diri menjawab iya. Hanya saja kenyataan yang terjadi tidaklah se sederhana itu.

Kebahagiaan yang tampak dari luar lebih banyak menyimpan kesedihan di dalam. Pernikahan. Untukku adalah pintu untukku membuka tragedi yang telah di takdirkan. Seungbo akan menjadi milikku. Itu sudah pasti. Tapi sampai kapan aku tidak tahu. Aku memaksa menikah dengannya adalah keegoisan terbesarku. Aku sadar itu. Aku memang memilikinya tapi sudah pasti tidak akan lama. Aku pasti meninggalkannya dengan cepat. Sialnya Seungbo enggan menyadari itu dan malah tetap memilih jalan menyakitkan ini.

Bahkan ketika akhirnya dia berhasil membuatku mengenakan gaun sakral ini tak luput dari adu mulut. Berkali-kali aku bertanya apakah dia tidak akan menyesali keputusan ini. Aku sangat menyebalkan. Memang. Mana ada wanita yang bertanya kesungguhan hati pada hari pernikahan selain diriku. Bersamaan dengan jarum jam yang terus menanjak semakin besar pula ketakutanku untuk melangkah.

Kata orang jika sepatu memiliki arti indah. Bila seseorang yang dicintai memberikannya maka akan menjadikan sepatu itu sebagai perantara untuk melangkah pada jalan berbunga. Seungbo memberiku sepatu cantik ber hak tinggi yang kini kupakai. Bukan, lebih tepat bila kukatakan adalah dia yang memakaikannya padaku. Dengan tersenyum lembut dia berkata.

"Mulai sekarang kau tidak perlu kuatir tentang jalan di depan karena jalan manapun akan menjadi jalan berbunga. Serahkan semuanya padaku. Meskipun tidak mungkin kalau tidak akan ada batu rintangan tapi selama bergandengan tangan kita bisa melaluinya."

Suara pintu terbuka memaksaku mengalihkan tatapan dari cermin. Seorang pria berjas rapi berjalan ke arahku. Dia terlihat sangat tampan mengenakan dasi hitam panjang yang menggantung dibawah lehernya. Ini adalah pertama kalinya aku melihat dia berdandan sangat rapi. Sulit dipercaya kalau dia adalah pria yang biasa membuatku berteriak kesal karena tingkah lakunya.

"Nuna."

"Seongho!"

Bibirku tertarik membentuk lengkungan indah bernama senyuman. Rasanya sudah sangat lama aku tidak bertemu dengannya. Kejadian akhir-akhir ini terlalu memenuhi otakku sampai tidak menyadari kehadiran Seongho.

"Wah... Mataku silau karena Nuna terlalu bersinar."

Seperti yang selalu terjadi Seongho memang selalu bertingkah tengil padaku. Dia melontarkan candaan menyebalkan yang anehnya mengusir semua kegundahan yang menghinggapi otakku. Melihat tingkah konyolnya tidak sesuai dengan jas rapi yang dia kenakan membuatku tertawa.

"Apaan sih."

Jujur saja aku tersipu meskipun tahu kalau Seongho sengaja mengolokku. Bagaimanapun dia memujiku cantik bukan? Kapan terakhir kali aku menerima pujian? Aku bahkan tidak ingat. Selalu teriakan marah dari ketua tim yang terpatri dalam ingatan.

"Ini."

Seongho menyodorkan sebuket besar bunga mawar berwarna merah yang sangat indah. Dia memberikannya padaku. Otakku yang lambat berfikir menahan tanganku untuk terulur menerimanya.

"Untuk Nuna. Aku sengaja membelinya tadi."

"Bukan. Sebentar. Kenapa?"

Untuk sekarang hanya itu yang terpikirkan oleh otak bodohku.

"Aku tidak ingin datang dengan tangan kosong."

"Biasanya orang memberikan uang. Kenapa bunga?"

Aku menggerutu yang dijawab tatapan tidak percaya oleh Seongho. Dia membuka mulutnya lebar tanpa kata. Bisa ku tebak dia sedang menyiapkan bom kata untuk menyerang ku lagi.

"Nuna! Kenapa Nuna sangat mata duitan? Harusnya jangan menikahi manusia itu kalau mengincar uangnya. Dia sangat miskin."

"YA! Kata siapa aku mengincar uang!?"

Tanganku yang terlalu cepat sudah lebih dulu mendarat di kepalanya sebelum dia berhasil menangkis. Suara plak khas yang selalu membuatnya mengaduh terdengar. Seongho mengusap usap kepala bekasku memukul. Bibirnya mengerucut. Matanya yang sebening anak SD menatapku. Sangat lucu. Bukannya berbelas kasih padanya aku justru menertawakannya.

"Nuna! Rambutku mahal tau!" Seongho kembali merapikan tatanan rambutnya yang sedikit berantakan karena pukulanku.

"Maaf sengaja." Aku kembali tertawa. Seongho menatapku sebentar dan kembali menatap cermin untuk membenarkan rambutnya dengan sebelah tangan.

"Untuk Nuna. Mau tidak? Kalau tidak mau Nuna harus tetap menerimanya."

Seongho kembali menyodorkan buket bunga padaku. Buketnya besar hingga bisa menelan seluruh kepala kalau dia meletakkannya di depan wajah. Tapi Seongho membawanya dengan satu tangan. Bukankah itu berat?

"Itu pemaksaan tahu. Mana ada orang memberikan barang tapi tidak menerima penolakan."

"Sudah ambillah. Tanganku pegal tahu."

"Siapa juga yang suruh."

Masih dengan mengomel akhirnya ku terima buket dari Seongho dengan kedua tanganku. Semerbak harum menyapa hidungku ketika aku menciumnya. Sebuah buket besar bunga mawar merah yang lebih mirip sebagai bunga untuk melamar. Aku tersenyum. Tidak bisakah dia memilih buket bunga lain? Bukan mawar merah setidaknya. Dapat ide darimana dia sampai memiliki pikiran membawa bunga.

"Hyungmu pasti cemburu melihat ini."

"Kurasa tidak."

"Hmm?"

"Dia yang menyuruhku."

Aku hanya terdiam mendengarnya. Seungbo yang menyuruhnya? Romantis sekali. Senyumku semakin lebar membayangkan wajah Seungbo. Dia sangat pandai melakukan hal seperti ini.

Kuharap kalian suka ceritanya.
Kalau suka boleh dong minta bantu dukungan votenya.
Yang mau komen juga silahkan sebisa mungkin bakal aku jawab^^
Love ya.
See ya😘

I love You, I'm SorryWhere stories live. Discover now