Huru Hara

49 3 0
                                    

Thank U buat kalian yang udah mampir.
Hope you enjoy reading^^





Sinar matahari langsung menerobos masuk ketika ku sibakkan gorden yang menutupi jendela kamarku. Hari ini cerah. Meskipun aku tidak berani menjamin kalau hujan tidak akan datang. Prakiraan cuaca yang kuterima di ponsel mengatakan akan terik sampai sore. Tapi entahlah, beberapa hari terakhir hujan terkadang turun tiba-tiba.

Aku tidak bisa melihat angka waktu yang biasa ku lihat setiap bangun tidur karena ponselku kehabisan baterai. Kemarin malam aku lupa mematikan pemutar musik yang pintarnya aku menyalakannya disaat batreaiku tinggal seperempat persen. Dan lagi aku tertidur tanpa sempat menghubungkan pengisi daya pada ponsel malangku.

Masih dengan memasang senyum aku keluar dari kamar. Melangkahkan kaki menuju dapur tempatku biasa menyiapkan sarapan untuk dua manusia berwajah mirip dan juga pelafalan nama yang mirip. Mereka berdua selalu menyangkal saat kubilang mirip. Tapi entahlah kalau tentang nama. Aku tidak pernah menanyakannya pada mereka.

Perutku yang sudah kelaparan sedari kemarin malam membuat hidungku menjadi lebih tajam. Aroma harum telur dadar menuntun langkah kakiku semakin cepat mendekati sumbernya.

"Sedang apa."

"Nuna!" Seongho menyambut kedatanganku dengan mata berbinar.

"Nuna mau?"

Dia menyodorkan sepotong roti lapis isi padaku. Tanganku menerimanya meskipun mataku menatapnya bertanya.

"Makanlah. Bagaimana rasanya?"

Masih dengan mata berbinar Seongho menuntut ku untuk segera memasukkan roti yang ku pegang ke dalam mulut. Mungkin karena aku yang memang sudah lapar kuturuti saja kemauan bocah satu itu untuk memakannya.

"Hmmm ini enak." Kataku.

Kukira rasanya akan sangat jauh dari kata lumayan tapi ternyata ini sangat enak. Penampilannya juga cantik. Tidak sia-sia ternyata selama ini dia menghancurkan dapur dan membuang percuma isi kulkas.

"Benarkah? Tunggu saja. Hari ini urusan dapur serahkan padaku. Nuna akan segera tersadar kalau ada calon koki Michellin di sini."

Mendengar jawabanku Seongho berjingkrak kegirangan. Kalau saja dia punya ekor aku yakin dia akan mengibaskannya dengan heboh. Merasa memiliki pendukung dia menyombongkan khayalan masa depan yang entah akan pasti dia raih atau tidak.

"Kau bilang ingin menjadi pengarah musik sekarang ingin menjadi juru masak. Sebenarnya kau ingin yang mana?"

"Apakah ada orang yang melarang untuk memiliki karir lebih dari satu?"

"Tentu saja tidak. Aku hanya belum pernah melihat kombinasi kedua itu."

"Cih. Dasar menyebalkan."

"Hyungmu mana? Tidak kelihatan."

Sudah lumayan lama sejak aku duduk di meja makan dan belum juga ku temui sosok Seungbo. Apakah dia sudah sarapan? Atau malah sudah pergi? Tapi ini hari Sabtu, bukankah harusnya dia juga libur?

"Nuna sangat menyukainya? Selalu menanyakan dimana manusia itu."

Mendengar kata Seongho membuatku tersadar kalau aku memang selalu mencarinya. Seolah melihat wajah Seungbo adalah kegiatan wajib tak tertulis. Kenapa aku selalu mencarinya? Ketika aku menanyakan itu aku juga tidak tahu apa jawabannya. Aku tidak bisa memikirkan alasan paling tepat untuk pertanyaan itu. Aku hanya merasa harus selalu melihatnya setidaknya sekali dalam sehari.

"Iyakah? Aku tidak tau kalau ternyata aku melakukan itu."

"Jangan bilang Nuna jadi menyukainya setelah manusia itu melamar Nuna kapan hari."

I love You, I'm SorryWo Geschichten leben. Entdecke jetzt