Hujan

75 3 0
                                    

Thank U buat kalian yang udah mampir.
Hope you enjoy reading^^

Suara berisik hujan menemani langkahku. Cipratannya yang membuat basah mengotori celana panjang yang ku pakai. Sedikit menyegarkan mendengarkan suara hujan dari bawah payung. Kutarik mantel semakin mendekap tubuh. Angin dingin menyusup melalui mantelku yang terbuka. Terasa dingin.

Dan disanalah dia. Berdiri memandang lebatnya hujan yang jatuh didepannya. Kali ini dia tidak menghindarinya. Bahkan sepatunya juga basah. Tidak biasanya. Dia terus diam bahkan ketika melihatku yang berjalan mendekat. Kenapa lagi dia? Batinku menebak mulai pada hal hal yang buruk.

"Nuna datang?" Sambutnya begitu aku berdiri menjajarinya.

"Aku mencemaskanmu." Kataku sembari menyerahkan satu payung padanya. Dia menerimanya.

"Kurasa aku mulai menyukai hujan." Aku menatapnya. Mungkin dari mataku dia bisa membaca 'apa?' sehingga dia berkata "Aneh kan?"

"Kukira kau tidak menyukainya." Jawabku kemudian.

"Memang. Tapi entah kenapa hari ini aku menyukainya."

"Kamu terlalu sentimental." Jawabku sambil mengembuskan nafas keras.

"Rasanya seolah aku tidak terlalu kesepian."

"......"

"Seolah Hyung datang mengunjungi ku."

"Kamu merindukannya?"

"Apakah aku masih berhak? Setelah semua yang ku perbuat?" Kali ini dia menunduk. Menatap ujung sepatunya yang basah.

"Kamu tidak salah. Kamu juga berhak. Dia keluargamu bukan?!"

"Tentu. Satu-satunya Hyung yang paling mengerti aku."

Sepertinya ini akan lama. Seongho kalau sudah muram tidak akan mudah untuk mengembalikan senyum. Dia mungkin juga akan tetap seperti ini setelah sampai rumah nanti.

Tidak bisa. Dia tidak boleh sendiri. Baiklah aku akan mengajaknya pulang. Membelikan segala macam rasa stik kentang yang di sukainya untuk mengalihkan perhatian. Dia suka sekali kudapan itu. Aku akan membiarkannya menghancurkan dapur kalau perlu. Apakah aku pernah bilang? Kalau dia pandai menghamburkan persediaan makanan dalam kulkas ku? Meskipun dia menyebutnya sebagai memasak.

"Nuna aku tahu ini salah tapi aku rindu Hyung."

Aku diam. Otakku berputar keras. Haruskah? Ini memang terdengar sangat tidak masuk akal tapi semoga saja dia tidak terlalu menyadari kalau aku kehabisan cara untuk mengalihkan perhatiannya.

"Kau ingin belanja tidak? Kurasa tadi persediaan kita di kulkas hampir habis."

Seongho menatapku "Bolehkan?"

"Eum."

"Ok! Kita berangkat!"

Apa ini? Dia langsung bersemangat setelah mendengar kata belanja? Semudah itukah mengalihkan perhatiannya? Tidak seperti biasa. Ini aneh tapi aku mulai menyukainya. Kalau dia terus bersemangat seperti ini kurasa dia akan cepat membiasakan diri ketika perasaan bersalah dari masa lalu menghantuinya lagi.

Aku tersenyum. Kususul dia yang sudah lebih dulu berlarian kecil di depan.

_______

"Apa ini?"

"Hm?"

"Kau sebut ini masak?" Kataku sambil menunjuk sepanci ramyeon panas di depanku.

"Ey.. tidak semua orang bisa masak ramyeon tau." Seongho membela diri.

"Tentu. Kebanyakan orang akan memasak ramyeon sesuai instruksi di kemasan sedangkan kau?" Mataku menatap dapurku yang sudah bak lapangan perang. "Menghancurkan dapur."

"Iya iya maaf."

Seongho mulai ngambek. Coba saja kalian bayangkan dia hanya memasak dua bungkus ramyeon tapi harus membuat segala macam tepung berhamburan di meja. Cipratan minyak yang sampai ke tembok. Remahan sayur yang tadi dia potong banyak berjatuhan di lantai. Oh jangan lupakan satu butir telur yang tadi dia jatuhkan ke kompor dan kemudian menetes menuju lantai. Dia membela diri karena terkejut makanya tidak sengaja menjatuhkan telur itu.

"Kalau tahu begini mungkin tadi aku sudah makan makanan pesan antar." Kataku sambil menyuapkan ramyeon di ujung sumpitku.

"Nuna..." Lagi lagi dia mencebikkan bibirnya.

"Uhuk." Aku tersedak. Buru buru kuambil gelas disamping dan meminumnya sementara Seongho menatapku terkejut.

"Nuna tidak apa apa?"

"Em aku ok." Jawabku pendek.

"Makanya jangan memaki makanan yang kau makan, marah kan."

"O? Kamu menyalahkanku? Sudah besar kau rupanya Seongho kecilku." Aku tahu dia sangat membenci itu.

"Hentikan. Jangan lakukan itu." Dia menunjukku menggunakan sumpit di tangannya. Sudah ku bilang dia membencinya bukan?

"Siapa juga yang selalu berkata Seongho-ssi Seongho-ssi padaku." Gumamnya.

"Baiklah baiklah aku menyerah. Kamu yang menang. Seong. Ho. Ssi." Aku sengaja mengeja kalimat terakhir untuk menggodanya.

"Aku tidak mau masak lagi. Nuna saja yang masak. Kalau tidak mau silahkan pesan antar."

"Apa kamu bocah? Masih saja ngambek." Kataku kemudian.

Kepulan asap dari panci ramyeon di depan kami semakin menipis. Tidak ada suara lagi selain suara seruputan dari mulut kami berdua. Sesekali gumaman Seongho yang memuji hasil masakannya, yang sebenarnya adalah rasa basic dari bumbu instan. Aku tidak tahu apakah ini efek yang di tularkan Seongho padaku, kurasa rasa ramyeon biasa ini menjadi lebih nikmat.

"Setelah ini mau keluar jalan jalan?" Tawarku tiba tiba dan di jawab anggukan oleh Seongho.


Kuharap kalian suka ceritanya.
Kalau suka boleh dong minta bantu dukungan votenya.
Yang mau komen juga silahkan sebisa mungkin bakal aku jawab^_^
Love ya.
See ya😘

I love You, I'm SorryWhere stories live. Discover now