Strawberry Cake

5 2 0
                                    

Aku tidak akan bercerita bagaimana aku bisa sampai disini. Malam ketika aku mendatangi rumahnya dengan keadaan basah kuyup. Anggap saja aku sedang kehilangan akal sehatku dan secara tidak terduga kakiku melangkah menuju rumahnya.

Ketika dia berjalan di belakang Seongho sambil tersenyum, aku melihatnya. Senyumnya indah meskipun raut sedih berusaha dia sembunyikan. Dari sikapnya yang selalu kulihat dia bukanlah wanita yang kuat. Lebih tepatnya memaksa untuk kuat. Aku bukannya kali pertama bertemu orang dengan pemikiran yang sama. Hanya saja kali ini berbeda. Aku pernah bilang kalau aku tertarik padanya bukan. Dan sekarang perasaan itu semakin pasti kurasakan.

Kurasa aku menyukainya.

Hari ini secara mendadak Hyung menelfonku untuk segera datang ke perusahaan. Dia juga memohon supaya aku jangan sampai telat bahkan satu detik saja. Dia memang sangat perfeksionis. Melebihi sikap gila kerjaku, tentu saja. Petinggi perusahaan mengadakan rapat dadakan. Hal yang sangat ku benci. Sebenarnya aku sama sekali tidak peduli entah akan bagaimana hasil rapat penting itu. Meskipun aku tidak setuju juga tidak penting karena pada akhirnya keputusan itu dipaksa masuk dalam otak untuk ku terima. Kalau perlu Hyung akan dengan senang hati mendoktrin kannya padaku setiap hari.

"YA!! GO SEONGHO!! KAU AKAN MATI DI TANGANKU!!"

Ketika pintu terbuka suaranya menyambut. Aku belum melihat dia ada di mana tapi yang pasti bocah itu telah membuat masalah.

"Aku pulang." Kataku masa bodoh.

Aku ingin cepat mengistirahatkan kepalaku yang serasa mau pecah setelah menjadi samsak hidup. Bedanya mereka tidak memukulku atau menendang ku. Tapi mereka berlomba melontarkan kata paling tajam yang bisa mereka keluarkan dari mulut mereka. Dasar menyebalkan. Kalau saja hierarki tidak berlaku sudah pasti akan kubalas dengan fakta menyakitkan bahwa mereka tidak pernah turun langsung dan hanya bersikap seolah paling penting dengan selalu menyuruh orang lain menderita.

"Hyung Hyung tolong aku. Nuna akan membunuhku."

Tepat seperti dugaanku bocah itu memang membuat onar. Dia bersembunyi kebelakang ku seolah aku adalah tempat paling aman untuknya berlindung. Maaf sekali tapi aku terlalu lelah untuk meladeni permainan kekanakan mereka.

"Kenapa aku juga kena? Aku mau mandi. Minggir."

Aku tidak peduli. Kupaksa kakiku menjauh meskipun sebenarnya aku ingin lebih lama melihatnya. Dia tetap terlihat menarik saat sedang marah sekalipun. Sangat menggemaskan. Aku tidak bisa berhenti memikirkannya. Haruskah kucari alasan supaya bisa lebih lama bersamanya? Aku tidak tahu banyak tentangnya, kecuali dia sangat menyukai lemonade.

_______

"Sweet dream."

Ku sisipkan anak rambutnya yang berantakan. Dia terlihat sangat damai ketika tidur. Ah, ingin sekali aku membawanya masuk dalam kamar tapi bocah itu melarangku. Dia berkata kamarnya adalah area terlarang. Privasi, aku paham hal itu. Sayang sekali aku hanya bisa menyelimutinya seperti ini. Kuharap dia tidak kedinginan ketika bangun besok.

_______

Aku memutuskan untuk menjemputnya. Tadi aku sempat mendengar bocah itu menelfonnya. Bocah itu bilang padaku kalau dia tidak menyukai acara makan malam perusahaan. Bocah itu bahkan terlalu banyak bicara sampai menceritakan alasan kenapa dia sangat membenci makan malam traktiran itu. Setelah mendengarnya kuputuskan untuk menyusulnya. Rasa khawatir mendasariku untuk segera bertemu. Aku harus memastikan kalau dia baik-baik saja.

"Pakai dulu sabuk pengamanmu."

Ah! Jantungku serasa mau meledak. Tak bisa ku percaya aku baru saja melakukan itu. Wajahku sangat dekat sampai aku harus menahan nafas agar tidak ketahuan kalau aku sangat gugup. Kenapa dia hanya diam saja? Membuatku semakin gugup. Ah, benar! Dia tadi bertanya bagaimana aku tahu dia ada disini.

"Seongho mengatakan padaku kalau Nunanya sedang dipaksa ikut makan malam perusahaan."

Ini adalah bohong. Seribu persen aku mengarangnya. Alasannya adalah perasaanku. Rasa takut dan khawatir membuatku melakukannya. Melihatnya duduk disampingku seperti ini menjawab semua perasaanku. Syukurlah dia tidak kenapa-napa.

Masih dengan jantung berdebar tak beraturan kulajukan mobil melewati jalanan malam. Semoga dia tidak menyadari keanehan ku karena menahan kegugupan yang tak kunjung mereda. Aku tidak melihatnya, tapi menyadari dia kini duduk di sampingku membuatku semakin bergetar.

_______

"Kau mau ku belikan?"

Kukira dia sudah akan diam setelah lama mengomeliku tadi. Dia juga berkata sudah waktunya untuk kembali ke rumah sakit setelah menerima telfon. Apakah seperti itu cara kerja seorang dokter? Aku tidak tahu. Dia hanya berkata harus segera kembali ketika menerima telfon. Tadi dia sudah menerimanya, jadi kenapa dia belum juga pergi?

"Apa?"

Apa yang sedang dia katakan? Kita tidak sedang berbincang santai sekarang.

"Desert itu. Dari tadi kau melihatnya."

Kutengok kembali deretan kue di dalam etalase tak jauh dari tempatku duduk. Diantaranya ada yang menarik perhatianku. Sebuah kue berukuran kecil dengan hiasan irisan strawberry di atasnya.

"Ya! Kalaupun ingin, aku bisa membelinya sendiri tahu."

Kutolak tawarannya. Dia bisa benar-benar membelikanku kalau aku berkata 'iya'. Dari dahulu dia sudah seperti itu memang. Mungkin seumur hidupnya dia tidak tahu apa itu istilah 'bercanda'. Karena sikap seriusnya itu pula dia sekarang berhasil mendapatkan lisensi dokter yang sedari dahulu dia perjuangkan. Wanita yang gigih.

"Yasudah. Aku pergi."

Dia pergi. Tak lupa meninggalkan senyuman cantiknya. Dia cantik memang. Tapi hanya itu. Aku tidak tertarik padanya.

"Pergilah." Jawabku.

"Ya! Lebih baik kau dengarkan saranku."

Aku hanya menjawabnya dengan anggukan. Dia tahu aku melakukan itu untuk mengusirnya. Untunglah dia tidak berusaha mendebatku lagi dan memilih cepat pergi. Kalau bukan karena panggilan tadi sudah bisa ku pastikan dia akan kembali mengocehiku sampai mulutnya berbusa. Keras kepala sekali dia.

Setelah dia pergi kulangkahkan kaki menuju counter pesanan. Dan berkata.

"Tolong bungkuskan kue strawberry itu."

Aku tidak tahu dia akan menyukainya atau tidak tapi kuharap dia tidak menolaknya.

I love You, I'm SorryWhere stories live. Discover now